Maluku, kpktipikor.id – Penolakan terhadap aktivitas penggusuran lahan oleh PT Batu Licin (PT BBA) di Desa Nerong, Kecamatan Kei Besar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara terus menguat. Puluhan perwakilan masyarakat, organisasi kepemudaan, dan aktivis berkumpul dalam Rapat Konsolidasi Rakyat yang berlangsung Selasa (17/6) pukul 15.00 WIT di Kafe Kanda, Jalan Poros Mahkota, Lodar El, Kota Tual. Rapat tersebut merupakan bagian dari rangkaian gerakan rakyat menyelamatkan tanah adat dan lingkungan dari ancaman investasi ekstraktif.
Konsolidasi dipimpin oleh Ruslani Rahayaan, seorang tokoh pemuda yang dikenal aktif menyuarakan isu-isu ekologis dan hak masyarakat adat. Dalam pertemuan itu hadir sekitar 42 orang, termasuk pimpinan organisasi kemahasiswaan seperti GMNI dan HMI. Mereka menyuarakan keresahan mendalam atas kegiatan perusahaan tambang PT BBA yang dinilai melanggar hak-hak adat dan merusak kawasan pesisir.
Inti dari rapat konsolidasi tersebut menegaskan bahwa aktivitas penggusuran lahan oleh PT BBA berpotensi merusak ekosistem pesisir dan hutan, serta mengancam eksistensi tanah ulayat milik masyarakat adat. Massa menuding bahwa proses eksploitasi dilakukan tanpa melalui prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent), yakni hak masyarakat untuk memberikan persetujuan secara bebas, terlebih dahulu, dan berdasarkan informasi yang lengkap sebelum adanya proyek pembangunan.
Selain itu, peserta konsolidasi menilai kegiatan PT BBA bertentangan dengan ketentuan hukum, termasuk Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, khususnya pasal-pasal yang menekankan perlindungan lingkungan dan hak masyarakat pesisir.
Penolakan tersebut juga diperkuat dengan argumentasi hukum terhadap pelanggaran Perda Provinsi Maluku No. 16 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Rakyat menyoroti bahwa kawasan pesisir dan hutan di Kei Besar telah ditetapkan sebagai zona lindung ekologis, sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 dan 20 perda tersebut.
Mereka menegaskan bahwa aktivitas PT BBA tidak hanya mengabaikan keterlibatan masyarakat hukum adat, tetapi juga mengangkangi pengakuan terhadap wilayah adat. Ini dinilai melanggar Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 serta Pasal 27A UU No. 1 Tahun 2014 yang menjamin partisipasi masyarakat dalam proses perizinan.
Dalam forum tersebut, massa mengajukan tuntutan tegas kepada Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Maluku Tenggara. Mereka menuntut pencabutan izin usaha dan izin lingkungan PT BBA, serta penghentian seluruh aktivitas eksploitasi di Desa Nerong. Mereka juga mendesak agar proses pembangunan wilayah menghormati hak masyarakat adat dan memastikan perlindungan terhadap fungsi ekologis wilayah tersebut.
Sebagai tindak lanjut dari konsolidasi, telah dideklarasikan Gerakan Selamatkan Kei yang menitikberatkan pada tiga pilar perjuangan: konsolidasi kekuatan sipil dari kampung ke kota, mendorong langkah hukum dan edukasi publik, serta menegaskan prinsip bahwa tanah dan laut merupakan sumber kehidupan yang tidak boleh diperjualbelikan.
Sebagai bentuk perlawanan simbolik, masyarakat akan menggelar aksi demonstrasi damai bertajuk “1001 Tiang Bendera Selamatkan Kei Besar” pada Sabtu, 21 Juni 2025 pukul 13.00 WIT. Aksi akan digelar di Taman Saraba Watdek, Kelurahan Ohoijang Watdek, Kecamatan Kei Kecil. Aksi ini diperkirakan akan melibatkan sekitar 200 peserta dari berbagai unsur: masyarakat adat, pemuda, aktivis, serta para raja adat di wilayah Kei.
Intelijen mencatat bahwa reaksi masyarakat atas aksi penolakan ini cukup beragam, baik yang mendukung maupun menolak. Hal ini berpotensi menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), khususnya di wilayah Kota Tual dan Maluku Tenggara. Karena itu, Polres Maluku Tenggara diharapkan meningkatkan kesiapsiagaan pengamanan untuk memastikan aksi berjalan damai dan tertib.
Rapat konsolidasi berakhir pada pukul 16.30 WIT dalam suasana kondusif. Namun, semangat perlawanan terhadap proyek PT BBA tampaknya belum akan mereda. Konsolidasi akar rumput telah dimulai, dan perlawanan terhadap proyek yang dinilai mengancam keberlanjutan lingkungan serta hak-hak masyarakat adat tampaknya akan terus berlanjut ke babak yang lebih besar. (Frets)
Tidak ada komentar