Tajuk Redaksi: Tanimbar Menderita Pemda Berpesta, Rakyat Tenggelam dengan Sampah

waktu baca 4 menit
Kamis, 9 Okt 2025 15:47 33 Wakaperwil Maluku

Tanimbar hari ini sedang berdiri di persimpangan suram antara kepalsuan kemegahan dan kenyataan getir rakyatnya. Di tengah jeritan ekonomi yang kian mencekik, Pemerintah Daerah justru menampilkan wajah penuh senyum dalam pesta pora yang membakar anggaran daerah.

Lampu-lampu panggung berkilau, dentuman musik menggema, dan tarian pejabat menjadi tontonan yang seolah ingin menutupi luka sosial yang membusuk di balik tembok kekuasaan.

Bupati Kepulauan Tanimbar Ricky Jauwerissa berpidato bahwa Tanimbar sedikit tegang dengan aksi demo 592 PPPK Paruh Waktu dan menuduh oknum-oknum Provokator. Cuci tangan seperti Pilatus tanpa menyadari tanggungjawabnya sebagai kepala daerah.

Sementara rakyat kecil masih berjuang mencari sesuap nasi di tengah harga kebutuhan pokok yang melambung, pemerintah daerah memilih menghamburkan dana untuk kegiatan seremonial.

Pemda berdalih bahwa pesta rakyat adalah bentuk hiburan dan kebanggaan daerah. Padahal, di balik panggung gemerlap itu, ada ratusan rumah tangga yang tidak sanggup membeli beras, ada anak-anak sekolah yang kekurangan buku, dan ada nelayan yang tak bisa melaut karena cuaca buruk tanpa ada perhatian pemerintah.

Ironi ini menjadi semakin telanjang ketika hujan deras dua hari setelah pesta besar itu mengguyur kota Saumlaki. Air meluap, sampah menumpuk, dan jalan-jalan kota berubah menjadi lautan kotor.

Masyarakat kembali meratap, bukan karena cuaca ekstrem semata, tetapi karena buruknya tata kelola lingkungan dan minimnya perhatian pemerintah terhadap masalah mendasar: sampah dan drainase. Ketika rakyat mengeluh, pemerintah malah berkilah, seolah alam menjadi kambing hitam atas kelalaian manusia.

Di media sosial, Suara Rakyat Tanimbar bergemuruh. Netizen menyorot tajam perilaku Bupati yang dianggap lebih peduli pada citra daripada kinerja. “Joget di atas penderitaan rakyat,” tulis salah satu warga dalam unggahannya.

Kritik itu tak berlebihan, sebab anggaran miliaran rupiah yang dihabiskan untuk mendatangkan artis luar daerah sejatinya bisa digunakan untuk membangun infrastruktur dasar, memperbaiki drainase, atau mendukung usaha kecil masyarakat yang kini tengah mati suri.

Namun, pesta pora tetap dilanjutkan. Seolah ada kewajiban moral bagi pejabat untuk menari dan tersenyum di depan rakyat yang lapar. Pemerintah berdalih bahwa kegiatan tersebut adalah “desakan rakyat”, sebuah alasan yang terdengar seperti sandiwara murahan.

Sebab, rakyat yang mereka maksud bukanlah petani, nelayan, atau pedagang kecil, melainkan kelompok kecil yang diundang untuk menambah ramai panggung pesta.

Padahal, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian telah mengingatkan seluruh kepala daerah agar tidak melakukan pemborosan lewat kegiatan seremonial yang tidak penting.

Pemerintah pusat tengah berjuang melakukan efisiensi anggaran di masa transisi menuju pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto. Tetapi di Tanimbar, peringatan itu seakan angin lalu. Para pemimpin daerah lebih memilih mempertontonkan kemewahan daripada menunjukkan empati.

Krisis ekonomi yang melanda Tanimbar bukan sekadar akibat globalisasi atau cuaca ekstrem. Ia lahir dari kebijakan yang salah arah, dari mentalitas pejabat yang lebih mencintai panggung daripada rakyat. Pesta seremonial hanyalah simbol dari sebuah pemerintahan yang kehilangan orientasi tidak lagi berakar pada kepentingan publik, melainkan pada kepentingan pencitraan sesaat.

Rakyat kini hanya bisa menatap nanar. Mereka yang bekerja di pasar, di laut, dan di kebun, harus menghadapi kenyataan bahwa hasil jerih payah mereka tak berbanding lurus dengan perhatian pemerintah.

Ketika rakyat menunggu bantuan pupuk, bibit, atau perbaikan akses jalan, yang datang justru baliho besar bertuliskan “Sukseskan HUT Kabupaten ke-26 Tahun” dengan wajah-wajah pejabat tersenyum lebar.

Apakah pesta itu benar-benar mencerminkan kemajuan Tanimbar? Tentu tidak. Kemajuan sejati tidak diukur dari jumlah panggung yang berdiri megah, atau berapa artis yang datang dari luar daerah.

Kemajuan sejati diukur dari sejauh mana pemerintah mampu menekan angka kemiskinan, membuka lapangan kerja, menjaga kebersihan lingkungan, dan menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

Kini, setelah gemerlap lampu panggung padam dan dentuman musik berhenti, yang tersisa hanyalah tumpukan sampah dan rasa getir di hati masyarakat. Pemerintah kembali ke ruang ber-AC, sementara rakyat harus menunggu sampah-sampah diangkut.

Beginilah wajah pemerintahan yang kehilangan arah: bersolek di depan cermin kekuasaan, tapi lupa membersihkan lumpur yang menempel di kaki rakyatnya.

Tajuk Redaksi ini bukan sekadar kritik. Ini adalah panggilan moral bagi para pemimpin daerah untuk kembali menatap realitas. Tanimbar tidak butuh pesta, Tanimbar butuh keadilan.

Tidak butuh artis ibu kota, tetapi butuh air bersih, sekolah yang layak, dan pasar yang tertata. Tidak butuh sorak-sorai sesaat, tetapi butuh kebijakan yang berjangka panjang untuk kesejahteraan masyarakat.

Tanimbar sedang menjerit di tengah pesta. Ia butuh pemimpin yang sadar bahwa kekuasaan bukan panggung hiburan, melainkan amanat penderitaan rakyat.

Jika pesta masih menjadi prioritas di tengah krisis, maka sejarah akan mencatat: bahwa di masa paling sulit rakyat Tanimbar berjuang untuk hidup, sementara pemerintahnya menari di atas reruntuhan moral dan ekonomi.

Redaksi : KPK TIPIKOR

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA