Setiap Warga Berhak Untuk Mengetahui Penggunaan Dana Desa Di Wilayahnya Yang Diatur Oleh Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

waktu baca 4 menit
Kamis, 2 Okt 2025 14:12 17 Admin Pusat

Sumedang , kpktipikor.id -Pengelolaan dana desa menjadi isu penting dalam pembangunan desa di Indonesia. Setiap warga desa memiliki hak untuk mengetahui penggunaan dana desa, sebuah hak yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan peraturan turunannya. Transparansi ini bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan bagian dari prinsip tata kelola yang baik, akuntabel, dan berpihak pada masyarakat.

Dalam praktiknya, kepala desa wajib menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa), yang kemudian dibahas dan disepakati dalam musyawarah desa. APBDesa ini menjadi dokumen penting yang memuat rencana penggunaan dana desa, mulai dari pembangunan infrastruktur hingga program pemberdayaan masyarakat.

Seluruh warga berhak mengakses informasi ini, memberikan masukan, dan bahkan menanyakan prioritas penggunaan dana. Lebih dari itu, laporan pertanggungjawaban penggunaan dana desa harus disampaikan secara terbuka setiap tahun kepada warga dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Namun, di lapangan, tidak jarang muncul hambatan yang menyulitkan warga untuk menegakkan haknya. Beberapa oknum perangkat desa atau kepala desa terkadang menanggapi pertanyaan warga dengan marah atau bahkan melakukan intimidasi. Praktik seperti ini jelas bertentangan dengan prinsip keterbukaan dan hukum yang berlaku. Intimidasi terhadap warga yang menanyakan dana desa dapat digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum dan berpotensi dikenai sanksi administratif maupun pidana.

Secara hukum, masyarakat desa tetap memiliki hak untuk menuntut transparansi. UU Desa No. 6 Tahun 2014 menegaskan bahwa setiap kepala desa wajib mengelola dana desa dengan prinsip transparan dan akuntabel. Sementara itu, UU Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14 Tahun 2008) menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi dari badan publik, termasuk desa. Menghalangi warga mengakses informasi ini merupakan pelanggaran serius.
Jika intimidasi terjadi, warga memiliki landasan hukum untuk melapor. Pasal 335 KUHP menjerat pihak yang dengan cara melawan hukum membuat orang lain takut atau terpaksa, sedangkan Pasal 368 KUHP mengatur ancaman atau kekerasan.

Selain itu, aturan teknis pengelolaan keuangan desa yang tertuang dalam PP No. 11 Tahun 2019 dan Permendagri No. 20 Tahun 2018 menekankan perlunya pengawasan oleh BPD dan inspektorat kabupaten/kota. Perangkat desa yang menolak memberikan informasi atau melakukan intimidasi bisa dikenai sanksi administratif maupun pidana.

Dalam konteks ini, penting bagi warga desa untuk mengetahui langkah-langkah aman ketika ingin menanyakan dana desa. Dokumentasi bentuk intimidasi, seperti rekaman, foto, atau catatan, dapat menjadi bukti yang kuat saat melaporkan kejadian ke BPD, inspektorat, atau pihak berwenang lainnya. Melibatkan media lokal atau LSM yang fokus pada pengawasan dana desa juga bisa membantu menekan praktik penyalahgunaan dan memperkuat posisi warga.

Penting juga bagi warga untuk memahami bahwa hak mereka bukanlah ancaman bagi perangkat desa. Transparansi seharusnya menjadi sarana untuk memperkuat kepercayaan antara pemerintah desa dan masyarakat.

Dengan pengelolaan yang terbuka, warga dapat melihat secara jelas bagaimana dana desa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, layanan sosial, hingga program pemberdayaan ekonomi. Hal ini pada akhirnya berdampak pada peningkatan kualitas hidup masyarakat desa dan meminimalkan risiko korupsi atau penyalahgunaan dana.

“Selain aspek hukum, transparansi dana desa juga membawa manfaat sosial yang signifikan. Warga yang aktif mengawasi penggunaan dana akan mendorong kepala desa dan perangkatnya untuk lebih bertanggung jawab. Musyawarah desa yang melibatkan masyarakat secara aktif menjadi forum penting untuk menyelaraskan program pembangunan dengan kebutuhan nyata warga. Ini sejalan dengan prinsip good governance, di mana pemerintah desa tidak hanya berfungsi sebagai penyelenggara administrasi, tetapi juga sebagai fasilitator partisipasi warga.

Namun, agar hak-hak warga desa dapat terlaksana tanpa risiko, perlu ada edukasi yang berkelanjutan mengenai peraturan desa, hak akses informasi, serta mekanisme pelaporan pelanggaran. Pemerintah kabupaten/kota juga memegang peran penting dalam memberikan pendampingan teknis, supervisi, dan memastikan bahwa setiap perangkat desa memahami batasan wewenang mereka. Tanpa dukungan ini, upaya transparansi akan selalu menghadapi tantangan, termasuk intimidasi terhadap warga yang menuntut keterbukaan.

Dalam menghadapi dinamika ini, media juga memegang peranan strategis. Liputan yang mendidik masyarakat tentang hak atas dana desa dan menyoroti kasus penyalahgunaan atau intimidasi dapat menciptakan tekanan sosial yang konstruktif. Hal ini tidak hanya membantu warga menegakkan haknya, tetapi juga mendorong perangkat desa untuk lebih akuntabel.

Secara keseluruhan, transparansi penggunaan dana desa merupakan hak warga yang dilindungi oleh hukum. Menghalangi akses informasi bukan hanya melanggar peraturan desa, tapi juga berpotensi dikenai sanksi pidana.

Warga desa yang menanyakan penggunaan dana desa harus dilindungi, didukung, dan diberikan mekanisme aman untuk mengakses informasi. Pemerintah desa, BPD, inspektorat, media, dan LSM memiliki peran penting dalam menjaga agar prinsip keterbukaan ini diterapkan dengan konsisten.

Transparansi dana desa bukan hanya soal administrasi, tapi tentang membangun kepercayaan, mendorong partisipasi masyarakat, dan memastikan pembangunan desa tepat sasaran. Dengan kesadaran hukum yang kuat, mekanisme pengawasan yang efektif, dan perlindungan terhadap warga, penggunaan dana desa bisa menjadi teladan pengelolaan publik yang profesional, akuntabel, dan bebas dari intimidasi. ( Asher ).

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA