Maluku, kpktipikor.id – Dunia pendidikan kembali tercoreng. SMP Negeri 2 Fordata, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, diduga melanggar aturan nasional dengan menerapkan sanksi berupa pembayaran uang tunai Rp500 ribu dan penyerahan satu set kursi bagi siswa yang pindah sekolah atau terlambat masuk pasca-libur panjang.
Praktik ini mencuat setelah salah satu siswa bernama Naldi yang pindah ke Kaimana dikenakan biaya tersebut. Selain itu, sebanyak delapan siswa dinyatakan tidak naik kelas karena alasan utama tingkat kehadiran (absensi), bukan berdasarkan evaluasi akademik menyeluruh.
Ironisnya, berdasarkan informasi dari sumber berita ini, Plt Kepala Sekolah, Tomas Boki, berdalih bahwa aturan ini adalah hasil kesepakatan antara sekolah, orang tua murid, dan dua kepala desa setempat. Ia menegaskan bahwa siswa yang bolos lebih dari 10 kali otomatis tidak diberikan kesempatan naik kelas, tanpa mempertimbangkan asesmen remedial atau pendekatan psikopedagogis lainnya.
Pendidikan Terkapar, Siswa Tertekan
Akibat kebijakan ini, sejumlah siswa dilaporkan mengalami tekanan mental hingga memilih keluar dari sekolah karena malu dan kecewa. “Ini menjadi potret buram pendidikan di pelosok negeri. Ketika sekolah seharusnya menjadi ruang pembinaan, justru berubah menjadi beban psikologis,” ungkap salah satu aktivis pendidikan di Fordata.
Kondisi ini menyiratkan perlunya perbaikan serius dalam pengawasan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di daerah terpencil. Pendidikan semestinya inklusif, humanis, dan berpihak pada tumbuh kembang siswa, bukan sebatas hadir atau absen.
Salah satu narasumber yang berhasil diwawancarai media ini mengungkapkan bahwa memang terdapat kesepakatan, namun seharusnya dirumuskan terlebih dahulu dalam bentuk aturan yang jelas dan dibahas melalui mekanisme rapat untuk mendapatkan persetujuan resmi. Ironisnya, pertemuan perdana justru langsung dijadikan dasar penerapan kebijakan tanpa melewati prosedur yang semestinya.
“Padahal, edaran resmi Bupati dengan tegas membatalkan segala bentuk kesepakatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan menyatakannya batal demi hukum. Karena itu, kepala sekolah tidak bisa lagi berlindung di balik dalih ‘kesepakatan’ untuk membenarkan tindakan yang melanggar aturan,” tegasnya
Langgar Konstitusi dan Aturan Pendidikan Nasional
Kebijakan SMPN 2 Fordata jelas berseberangan dengan:
UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1) dan (2)
“Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.”
“Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (2) menegaskan bahwa pendidikan dasar wajib diselenggarakan tanpa pungutan biaya dan diskriminasi.
Permendikbud No. 75 Tahun 2016
Melarang sekolah negeri dan komite menarik pungutan dari peserta didik/orang tua.
Permendikbud No. 1 Tahun 2021 tentang PPDB Tidak mencantumkan adanya kewajiban membayar biaya untuk proses pindah sekolah. Administrasi pindah hanya memerlukan dokumen sah, bukan pembayaran dalam bentuk apapun.
Sanksi Uang Dinilai Sebagai Pungli
Penerapan sanksi keuangan dan pemberian kursi terhadap siswa yang terlambat atau pindah dinilai sebagai pungutan liar (pungli) karena:
1. Tidak memiliki dasar hukum dari kementerian atau dinas terkait.
2. Bertentangan dengan prinsip pendidikan gratis tingkat dasar.
3. Tidak melalui prosedur resmi dalam pengelolaan keuangan sekolah.
Panggilan untuk Investigasi Serius
Kasus ini mendesak ditangani oleh:
Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Ombudsman RI dan Inspektorat Daerah.
Jika terbukti melanggar, sekolah dapat dikenai sanksi administratif dan kepala sekolah bisa dikenakan pasal dalam Peraturan Pemerintah tentang pelayanan publik dan anti pungli.
Pendidikan Adalah Hak, Bukan Komoditas
Pendidikan bukanlah komoditas yang diperjualbelikan, melainkan hak dasar setiap anak bangsa. Penerapan sanksi berupa uang dan barang terhadap siswa adalah bentuk pelanggaran nilai konstitusi dan mencoreng wajah pendidikan nasional.
Negara wajib hadir dan memastikan tidak ada satu pun anak Indonesia yang terhalang hak belajarnya hanya karena faktor administratif atau kebijakan sepihak dari sekolah.
Tidak ada komentar