Saumlaki, kpktipikor.id – Kebijakan SMP Negeri 2 Fordata, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku, yang tidak menaikkan delapan siswa dengan alasan absensi, menuai sorotan publik. Keputusan tersebut dinilai tidak sejalan dengan prinsip pendidikan nasional dan dikhawatirkan memperburuk angka putus sekolah di daerah kepulauan.
Kebijakan ini dianggap kurang responsif terhadap tantangan pendidikan di wilayah terpencil. Padahal, pihak sekolah sebelumnya menyatakan telah bekerja sama dengan Pemerintah Desa Sofyanin dan Walerang. Namun, sejumlah program konkret, seperti penerapan jam belajar malam, belum terealisasi secara optimal.
Inspektur Pembantu Irban II, Eddy Lethulur, membenarkan bahwa Plt. Kepala Sekolah SMP Negeri 2 Fordata telah dipanggil untuk memberikan klarifikasi.
“Plt. Kepala Sekolah telah diberikan mandat untuk mengambil langkah penyelesaian agar peserta didik dapat kembali mengikuti proses belajar dan memperoleh hak kenaikan kelas,” ujarnya di ruang kerja, Selasa (20/9/2025).Pukul 11:30 WIT.
Di sisi lain, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Eko Bambang Priyanto, mengaku tidak mendapat laporan resmi mengenai keberadaan Plt. Kepala Sekolah SMP Negri 2 Fordata di Ambon.
“Tidak ada konfirmasi dan permohonan izin kepada saya,” tegasnya.
Namun, Johan Boki ketika dikonfirmasi, mengatakan keberangkatan ke Ambon sudah memperoleh izin dari Koordinator Wilayah Pendidikan Kecamatan Fordata.
Selanjutnya, Salah satu orang tua murid berharap adanya sikap tegas dari Pemerintah Kabupaten Kepulauan Tanimbar.
“Kami memohon perhatian serius dari Bapak Bupati, Inspektur Daerah, dan Kepala Dinas Pendidikan. Tolong pikirkan masa depan anak-anak kami,” ungkapnya.
Hal senada disampaikan pemuda Desa Sofyanin, Petrus, yang menegaskan bahwa keputusan pendidikan harus berorientasi pada peserta didik.
“Keputusan tidak menaikkan siswa seharusnya menjadi opsi terakhir. Sekolah wajib memaksimalkan pembinaan dan konseling sebelum menjatuhkan keputusan. Prinsipnya, pendidikan harus menekan angka putus sekolah, bukan menambahnya,” ujarnya.
Adapun, secara regulatif, Permendikbud No. 53 Tahun 2015 dan Permendikbud No. 23 Tahun 2016 menegaskan bahwa absensi tidak dapat dijadikan satu-satunya dasar penentuan kenaikan kelas. Kehadiran memang dipersyaratkan minimal 90%, namun sekolah wajib menelusuri penyebab ketidakhadiran siswa, termasuk faktor ekonomi, kesehatan, maupun sosial.
Kendati begitu, dalam kerangka Kurikulum Merdeka, sekolah didorong untuk memberikan alternatif solusi melalui remedial, layanan konseling, hingga pembelajaran terdiferensiasi. Sistem tinggal kelas otomatis sudah tidak diberlakukan, digantikan dengan penilaian berbasis capaian kompetensi dan perkembangan karakter.
Oleh karena itu, Kasus di SMP Negeri 2 Fordata menjadi momentum bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola pendidikan di wilayah kepulauan. Dengan keterbatasan akses dan tantangan geografis, kebijakan pendidikan harus lebih inklusif, adaptif, dan berpihak pada anak.
Ke depan, implementasi Kurikulum Merdeka diharapkan tidak hanya menjadi regulasi formal, tetapi juga rujukan praktis dalam memastikan setiap anak memperoleh hak pendidikan yang adil, berkelanjutan, dan berorientasi pada masa depan.
Tidak ada komentar