Upah Tukang Rumah Layak Huni Tak Dibayar: Pemdes Kilmasa Diduga Lakukan Pelanggaran Dana Desa

waktu baca 3 menit
Senin, 21 Jul 2025 15:06 18 Kaperwil Maluku

Maluku, kpktipikor.id – Janji manis pemerintah untuk membangun rumah layak huni bagi warga miskin di Desa Kilmasa, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, justru menyisakan luka bagi para tukang bangunan yang belum menerima haknya. Salah satunya adalah Onisimus Takandara, kepala tukang yang menyatakan belum menerima pelunasan upah dari pemerintah desa, meski pekerjaan telah selesai sejak tahun 2023.

Saya sudah kerja mati-matian. Tapi dari total Rp7 juta, baru Rp1 juta yang saya terima. Sisanya Rp6 juta belum jelas ke mana,” tegas Onisimus kepada media, Senin (21/7/2025).pukul 16:29 WIT.

Ironisnya, ketika Onisimus menagih sisa pembayaran, pihak pemerintah desa justru saling lempar tanggung jawab. Lebih mengejutkan, sebagian upah justru dikabarkan diserahkan ke pemilik rumah, bukan kepada tukang.

Dari yang seharusnya 2 juta untuk saya, malah 1 juta diberikan ke pemilik rumah, dan saya hanya dikasih 1 juta. Ini tidak adil!” ujarnya geram.

Pemerintah Desa Berdalih, Bukti RAP Tak Sinkron

Soleman Larbona, Kaur Pembangunan Desa Kilmasa, mengklaim bahwa pembayaran telah dilakukan penuh melalui perantara bernama Wempy. Namun bantahan muncul ketika data RAP yang diperlihatkan pada 30 Juni 2025 menunjukkan nilai upah hanya Rp5.750.000, berbeda dengan pengakuan sebelumnya yang menyebutkan nominal Rp7 juta.

“Kalau anggaran resmi saja berubah-ubah, bagaimana masyarakat bisa percaya?” tukas Onisimus.

Persoalan ini kian memburuk lantaran tidak ada itikad penyelesaian dari pihak Pemdes Kilmasa. Alih-alih menyelesaikan hak pekerja, pemerintah desa justru dianggap menutupi praktik yang sarat dengan dugaan manipulasi dana desa.

Tuntutan Hukum dan Keadilan Sosial: “Jangan Pura-pura Tidur!”

Onisimus menegaskan, apa yang ia alami bukan hanya soal uang, tetapi soal keadilan sosial.

“Ini bukan sekadar gaji saya. Ini soal tanggung jawab moral dan etika dalam mengelola uang negara. Kalau ini dibiarkan, penyimpangan akan terus terjadi dan rakyat kecil terus jadi korban,” serunya.

Ia pun mendesak aparat penegak hukum dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Tanimbar agar segera mengambil tindakan.

Pelanggaran UU Ketenagakerjaan dan Potensi Korupsi

Ketidakjelasan pembayaran upah ini bukan hanya masalah etika, tapi juga berpotensi melanggar UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, di mana upah adalah hak dasar pekerja.

Jika proyek ini dibiayai dari Dana Desa (DD), maka pelanggaran bisa mengarah pada:

UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa,

Permendesa PDTT No. 8 Tahun 2022, dan

UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Bahkan jika terbukti ada unsur penggelapan atau penyelewengan, aparat desa dapat dijerat pasal korupsi sesuai UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Aktivis Desak Transparansi dan Penindakan Tegas

Seorang aktivis di Ambon menegaskan bahwa setiap dana publik harus dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel. Bila terjadi penelantaran hak pekerja, maka ini perbuatan melawan hukum.

Untuk itu, Ia juga mendorong Inspektorat Daerah, BPKP, Kejaksaan, dan Ombudsman RI untuk turun tangan mengusut kasus ini hingga tuntas.

“Pemdes bisa dikenai sanksi administratif, perdata, bahkan pidana jika terbukti lalai atau menyimpang,” ungkap seorang Aktivis pemerhati Kebijakan di Saumlaki.

 

Kasus ini menjadi ujian serius terhadap integritas pengelolaan dana desa di Kepulauan Tanimbar. Bila pembiaran terus terjadi, maka tak hanya kepercayaan publik yang terancam, tapi juga masa depan tata kelola pemerintahan desa yang adil dan bersih.

 

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA