Oleh Victor Ruwayari,
Pemerhati Demokrasi Lintas Papua .
(Sebuah Catatan dan Harapan Sebagai Bahan Rujukan)
Eksistensi penyandang disabilitas (disabilitas) turut mengisi ruang kontestasi politik dalam bingkai pemilihan umum (pemilu).
Partisipasi penyandang disabilitas pada suatu Pemilu sangat penting dalam rangka upaya pemberdayaan dan penguatan peran penyandang disabilitas di lingkungan demokrasi.
Hal ini bertujuan untuk mewujudkan demokrasi yang inklusif. Terciptanya demokrasi yang inklusif berkaitan erat dengan pemenuhan hak secara setara. Penyandang disabilitas memiliki hak untuk berpartisipasi dalam politik. Penyandang disabilitas sebagai bagian dari warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam pemilu. Artinya, penyandang disabilitas diberikan kesempatan yang sama untuk mengekspresikan hak-hak dasar, seperti hak pilih dalam pemilu. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menyatakan bahwa penyandang disabilitas mempunyai kedudukan hukum dan hak asasi manusia yang sama sebagai warga negara Indonesia.
“Menakar efektivitas sosialisasi terhadap partisipasi penyandang disabilitas” artinya adalah mengukur seberapa efektif upaya-upaya sosialisasi yang dilakukan untuk mendorong partisipasi penyandang disabilitas dalam berbagai aspek kehidupan. Ini melibatkan penilaian apakah informasi yang disebarkan mengenai hak-hak, kesempatan, dan dukungan yang tersedia bagi penyandang disabilitas benar-benar sampai dan dipahami oleh mereka, serta apakah sosialisasi tersebut berhasil memotivasi mereka untuk aktif terlibat dalam kegiatan sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan. Secara lebih rinci, ini mencakup beberapa hal:
Efektivitas Sosialisasi:
Apakah informasi yang disebarkan melalui berbagai media (misalnya, kampanye, seminar, materi cetak, media sosial) dapat dipahami dengan baik oleh penyandang disabilitas, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi mereka. Apakah informasi tersebut mudah diakses dan relevan?
Peningkatan Partisipasi:
Apakah sosialisasi berhasil meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas dalam berbagai kegiatan? Misalnya, apakah lebih banyak penyandang disabilitas yang menggunakan hak pilih mereka dalam pemilu, mengikuti pelatihan kerja, atau mendaftar ke sekolah dan perguruan tinggi setelah adanya sosialisasi?
Perubahan Sikap dan Perilaku:
Apakah sosialisasi berhasil mengubah pandangan masyarakat (termasuk penyandang disabilitas sendiri) mengenai penyandang disabilitas? Apakah ada perubahan sikap yang lebih positif dan inklusif, serta pengurangan stigma dan diskriminasi?
Peningkatan Aksesibilitas:
Apakah sosialisasi juga mencakup upaya untuk meningkatkan aksesibilitas (fisik, informasi, komunikasi) agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara optimal?
Dengan menakar efektivitas sosialisasi, dapat diidentifikasi kekurangan dan tantangan dalam proses sosialisasi, serta perbaikan yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan peningkatan partisipasi penyandang disabilitas.
Pemilu yang memberikan kesamaan kesempatan kepada penyandang disabilitas merupakan pemilu yang non-diskriminatif. Artinya, penyandang disabilitas diberikan kemudahan guna terpenuhinya hak memilih, hak dipilih, maupun hak menjadi penyelenggaraan pemilu. Maka dari itu, pemerintah dan Penyelenggara pemilu wajib memberikan fasilitas yang mampu memenuhi hak politik penyandang disabilitas.
Untuk mendukung pengarusutamaan hak disabilitas, kelompok disabilitas perlu turut serta mengawal pemenuhan hak disabilitas melalui partisipasi politik. Pemenuhan hak politik bagi disabilitas yaitu hak dipilih dan hak memilih. Secara konstitusi, hak politik disabilitas dilindungi dan diakui keberadaannya melalui ketentuan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan pasal 28E Ayat (3) pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Berikut halnya diperkuat melalui Pasal 13 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pengaturan ini menjadi pintu pembuka dan sekaligus ruang demokratis untuk memperjuangkan hak-hak disabilitas melalui partisipasi aktif sebagai sebagai pemilih dan menjadi representasi di parlemen dalam ajang elektoral.
Sebagai pemilih penyandang disabilitas, yang merujuk pada data KPU yang tersaji pada DPT, bahwa jumlah pemilih disabilitas mengalami peningkatan dari Pemilu 2019 dan 2024.
Meningkatnya jumlah pemilih perlu menjadi perhatian bagi seluruh pihak penyelenggara pemilu untuk memberikan pendidikan politik dan memastikan aksesibilitas bagi pemilih disabilitas. Sebagaimana telah diatur pada ketentuan teknis UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, KPU wajib menyediakan aksesibilitas informasi dan Tempat Pemungutan Suara (TPS) bagi setiap ragam disabilitas. Aksesibilitas adalah kemudahan yang diberikan kepada disabilitas sesuai kebutuhannya.
Kebutuhan aksesibilitas yang diperlukan dalam proses pemilu sebagai penyandang disabilitas adalah seluruh instrumen yang akan digunakan pada proses pemberian suara oleh penyandang disabilitas, misalnya topografi TPS, bentuk bilik suara, dan alat bantu pemberian suara (Pasaribu & Sadikin, 2015:9-10).
KPU dan Bawaslu wajib memberikan informasi tentang pemilu yang mudah diakses oleh seluruh ragam disabilitas.
Kedua, petugas KPU perlu memastikan kemudahan mobilitas dan ketinggian TPS dengan keterjangkauan pengguna kursi roda, menyediakan surat suara dengan braille untuk disabilitas netra, dan Juru Bahasa Isyarat atau menugaskan pegawai yang memiliki kemampuan bahasa isyarat untuk pemilih Tuli pada saat kegiatan pencoblosan. Jika tidak, pemilih Tuli akan kesulitan mengakses informasi apabila pemanggilan untuk mencoblos hanya dengan pengeras suara.
Ketiga, KPU dan Bawaslu wajib memberikan informasi yang efektif kepada Penyelenggara pemilu di tingkat bawah, tentang tata cara pendampingan terhadap Pemilih Penyandang Disabilitas di TPS.
Hal esensial berikutnya adalah pendidikan politik. Peminggiran yang dialami disabilitas telah menjauhkan mereka dari realitas kehidupan. Akibatnya, seringkali mereka mengalami kesulitan saat mengakses informasi tentang pendidikan politik. Tanpa adanya edukasi, pemilih disabilitas rawan dimobilisasi dan dimanfaatkan suaranya secara ugal-ugalan untuk kepentingan tertentu. Pada level ini, seluruh instrumen politik pendukung memiliki kewajiban untuk menyediakan pendidikan politik dengan memerhatikan aksesibilitas seluruh ragam disabilitas yang menjadi konstituen agar haknya tidak terabaikan.
Dari penjelasan singkat diatas, kita dapat memberikan beberapa pertanyaan terkait dengan isu partisipasi pemilih penyandang disabilitas dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Papua 2025,
* ” Sampai sejauh manakah efektivitas Lembaga penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) melakukan Sosialisasi Partisipasi Pemilih terhadap Pemilih Penyandang Disabilitas?”
* ” Sampai sejauh manakah efektivitas Lembaga penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) melakukan Sosialisasi Terhadap penyelenggara pemilu di tingkat bawah (KPPS/Pengawas TPS) tentang tata cara pendampingan para pemilih penyandang disabilitas di TPS?”
Seiring dengan adanya hambatan struktural dan sosial, isu disabilitas dalam percaturan politik masih digunakan untuk memikat hati konstituen meski ujung-ujungnya terlupakan.
Dengan berjalannya waktu sebagaimana makanan penutup bisa menjadi daya tarik, namun kerap dikesampingkan saat sudah kenyang. Terlepas tantangan yang ada, upaya keterlibatan disabilitas di arena politik berkontribusi untuk mengikis stigma apolitis dan menjadi katalisator untuk menyalurkan aspirasi kepentingan kelompok disabilitas. Di alam demokrasi ini, para pemilih disabilitas dapat memberikan sumbangsihnya untuk mewujudkan demokrasi yang berkeadilan.
Kesimpulan.
Efektivitas sosialisasi terhadap partisipasi pemilih penyandang disabilitas masih perlu ditingkatkan. Meskipun upaya sosialisasi telah dilakukan, hambatan aksesibilitas, minimnya pemahaman, dan kurangnya informasi yang tepat waktu masih menjadi tantangan. Perlu adanya strategi yang lebih inklusif dan berkelanjutan untuk memastikan hak politik penyandang disabilitas terpenuhi.
Poin-poin penting:
Partisipasi masih rendah:
Meskipun ada upaya sosialisasi, jumlah pemilih penyandang disabilitas yang berpartisipasi dalam pemilu masih relatif rendah. Sebuah studi di Kabupaten Sidoarjo menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil penyandang disabilitas yang menghadiri sosialisasi dan menggunakan hak pilihnya.
Hambatan aksesibilitas:
Aksesibilitas fisik ke lokasi sosialisasi dan tempat pemungutan suara (TPS) menjadi kendala utama. Lokasi yang tidak strategis dan kurangnya fasilitas pendukung menjadi penghalang bagi penyandang disabilitas.
Minimnya pemahaman:
Kurangnya pemahaman tentang pentingnya pemilu dan tata cara pemungutan suara juga menjadi faktor penghambat. Sosialisasi yang dilakukan belum sepenuhnya efektif dalam memberikan informasi yang jelas dan mudah dipahami.
Keterbatasan informasi:
Penyampaian informasi yang tidak tepat waktu dan tidak sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas juga menjadi masalah. Misalnya, kurangnya informasi dalam format yang mudah diakses seperti Braille atau bahasa isyarat.
Pentingnya strategi inklusif:
Dibutuhkan strategi sosialisasi yang lebih inklusif dan berkelanjutan, dengan memperhatikan berbagai jenis disabilitas dan kebutuhan khusus mereka.
Rekomendasi:
Penyediaan aksesibilitas:
Memastikan aksesibilitas fisik ke lokasi sosialisasi dan TPS, termasuk penyediaan fasilitas yang ramah disabilitas.
Penyampaian informasi yang jelas dan mudah dipahami:
Memberikan informasi tentang pemilu dalam berbagai format yang mudah diakses, seperti Braille, bahasa isyarat, dan audio.
Pendampingan dan pelatihan:
Memberikan pendampingan kepada pemilih penyandang disabilitas saat sosialisasi dan pemungutan suara, serta melatih petugas KPPS agar lebih peka terhadap kebutuhan mereka.
Peningkatan kesadaran:
Melakukan sosialisasi yang lebih masif dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak politik penyandang disabilitas.
Evaluasi dan perbaikan:
Terus melakukan evaluasi terhadap efektivitas sosialisasi dan mencari cara untuk memperbaikinya agar lebih inklusif dan efektif.
” Salam Demokrasi “
Tidak ada komentar