Rekomendasi Camat Wermaktian untuk Sidang Adat Pulau Sukler Dinilai Cacat Hukum dan Tak Etis

waktu baca 3 menit
Rabu, 25 Jun 2025 13:40 10 Kaperwil Maluku

Saumlaki, kpktipikor.id – Polemik kepemilikan hak petuanan atas Pulau Sukler di wilayah 51 Seira, Kecamatan Wermaktian, Kabupaten Kepulauan Tanimbar kembali mengemuka. Upaya penyelesaian melalui jalur adat justru menjadi sorotan publik setelah Camat Wermaktian, Charles Utuwaly, mengeluarkan surat rekomendasi pelaksanaan Sidang Adat yang dinilai cacat secara administratif dan menyalahi prinsip tata kelola pemerintahan.

Melalui Surat Rekomendasi Nomor 130/17/2025, Camat menyatakan bahwa penyelesaian konflik petuanan antar marga di wilayah Wermaktian dapat dilakukan melalui Sidang Adat. Dalam surat itu, ia menunjuk Kepala Desa Weratan, Wilzon Layan, sebagai koordinator pelaksana sidang dan meminta seluruh elemen adat dan pemerintahan desa terlibat aktif. Pelaksanaan dijadwalkan berlangsung langsung di Pulau Sukler.

Surat tersebut juga mengacu pada Pasal 10 Permendagri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, serta mengamanatkan prinsip netralitas, keadilan, dan koordinasi dengan aparat keamanan.

Namun, surat yang bertujuan mendamaikan itu justru memicu gelombang kritik dari tokoh adat, akademisi, dan masyarakat adat di wilayah 51 Seira.

Antara Rekomendasi dan Perintah: Legal Standing Surat Dipertanyakan

Warga Desa Welutu yang hadir dalam proses sidang mempertanyakan status hukum surat tersebut. Meskipun disebut “rekomendasi”, isinya dinilai mengandung perintah yang mengikat—mulai dari penunjukan koordinator, hingga rincian teknis pelaksanaan.

“Ini surat bercorak instruktif, bukan saran atau anjuran. Ini bukan domain Camat. Kalau hendak mengikat, seharusnya pakai SK atau instruksi, bukan surat rekomendasi yang secara hukum bersifat tidak memaksa,” ujar seorang tokoh masyarakat yang enggan disebutkan namanya, Selasa (24/6/2025).

Kewenangan Camat Dianggap Melampaui Batas

Penggunaan Permendagri 18/2018 sebagai dasar hukum dinilai tidak memadai. Pasal 10 memang mengatur peran lembaga adat desa, namun tidak menyebut kewenangan Camat untuk menunjuk pelaksana atau mengatur teknis sidang adat yang sifatnya internal komunitas adat.

Sejumlah tokoh menilai bahwa intervensi Camat berisiko mencederai tatanan adat.

“Camat bukan bagian dari struktur adat. Ia pejabat administratif, bukan pemangku hak petuanan. Kalau tanpa permintaan tokoh adat, penunjukan dan pelaksanaan sidang jadi cacat legitimasi,” tegas seorang pemerhati hukum adat di Tanimbar.

Koordinator Tunggal dan Risiko Ketidaknetralan

Penunjukan Kepala Desa Weratan sebagai koordinator tanpa musyawarah bersama dengan kepala desa lain memunculkan resistensi. Beberapa pihak mempertanyakan kenapa wilayah lain dalam gugus Seira tidak dilibatkan.

“Pulau Sukler adalah wilayah yang disengketakan. Kalau hanya satu desa yang memimpin sidang, kesan berat sebelah tak terhindarkan,” ujar Thomy Lenunduan, pemilik petuanan yang mengklaim hak atas Pulau Sukler.

Administrasi Lemah: Tanpa Tenggat, Peta, dan Evaluasi

Kritik juga diarahkan pada aspek administratif surat tersebut. Tidak ada batas waktu pelaksanaan sidang maupun pelaporan hasilnya, membuka ruang ketidakpastian. Surat juga tidak melampirkan peta objek sengketa atau uraian batas wilayah Pulau Sukler secara detail.

Surat pun tidak mencantumkan mekanisme evaluasi, tidak menyebut sanksi jika prinsip-prinsip pelaksanaan dilanggar, dan tidak memberikan ruang aduan jika terjadi pelanggaran.

Struktur Surat Dianggap Tidak Profesional

Dari aspek redaksional, surat ini dianggap tidak sistematis. Struktur kalimat tidak formal, penomoran tidak konsisten, serta bahasa yang digunakan kurang mencerminkan standar dokumen pemerintahan. Hal ini semakin memperlemah kedudukan hukum surat tersebut.

Dari Penyelesaian Menjadi Potensi Konflik Baru

Alih-alih meredam konflik, surat rekomendasi Camat Wermaktian justru dianggap membuka potensi perselisihan baru. Dalam masyarakat adat, musyawarah, kesetaraan antar desa, dan penghormatan terhadap struktur adat adalah fondasi utama penyelesaian konflik.

Pemerhati kebijakan lokal menyarankan agar surat tersebut ditarik dan disusun ulang melalui musyawarah bersama lembaga adat Seira-Blawat. Mereka juga meminta agar batas kewenangan Camat dalam perkara adat dijelaskan secara transparan.

Hingga berita ini dipublikasikan, Camat Charles Utuwaly belum memberikan pernyataan resmi terkait sorotan atas surat rekomendasi tersebut.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA