Maluku, kpktipikor.id – Dunia usaha kuliner di Kota Saumlaki, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, diguncang kabar mengejutkan. Nasri, seorang pengusaha lokal dan pemilik Nass Coffee, mengaku menjadi korban intimidasi bisnis setelah mempekerjakan kembali Fikli, bartender asal Manado yang sebelumnya bekerja di Restoran Tiga Koki, salah satu tempat kuliner terkenal di Jalan Poros Saumlaki.
Kisah ini mengemuka setelah Nasri memberanikan diri buka suara kepada media. Ia menyebut telah mengalami serangkaian tekanan terstruktur sejak awal Juni 2025, yang menurutnya berasal dari oknum berpengaruh yang tidak ingin Fikli kembali bekerja di Saumlaki.
Dijemput Paksa dan Ditekan dalam Mobil: “Fikli Harus Pergi”
Beberapa hari setelah Fikli resmi bekerja di Nass Coffee, Nasri mengaku dijemput oleh seorang pria berpengaruh bernama Koko Ai bersama sopirnya. Dalam perjalanan menggunakan mobil pribadi, Nasri dihadapkan pada tekanan verbal agar memecat Fikli.
“Saya kaget saat Koko Ai langsung bilang, ‘Fikli harus keluar dari kota ini. Jangan kerja di sini lagi.’ Ini seperti tekanan sistematis, bukan persaingan sehat,” ungkap Nasri dengan wajah tegang saat diwawancarai.
Nasri menjelaskan bahwa Fikli tidak pernah ‘dibajak’ atau direkrut secara ilegal. Justru, bartender tersebut mengundurkan diri secara sukarela dari tempat kerja lamanya, pulang ke Manado, dan kembali ke Saumlaki atas inisiatif pribadi setelah menerima ajakan Nasri.
Ancaman dari “Orang Atas”: Kekuasaan Mengintimidasi Pengusaha Kecil
Tidak berhenti di situ. Nasri kemudian menerima tekanan lanjutan dari Latoy, seorang pengusaha asal Buton, yang membawa pesan misterius dari apa yang ia sebut sebagai “orang atas”.
“Dia bilang, hati-hati. Yang di atas tidak suka dan mereka punya uang serta kekuasaan. Jangan sampai usaha saya diganggu,” cerita Nasri menirukan ancaman halus tersebut.
Puncaknya terjadi pada Jumat malam, 20 Juni 2025, saat Nasri kembali dipanggil ke rumah Latoy dan diperkenalkan dengan Lamena, tokoh Buton lainnya. Dalam pertemuan itu, Nasri diberi ultimatum agar memecat Fikli paling lambat Sabtu esok harinya, dengan alasan “demi keselamatan usaha dan dirinya”.
“Mereka bilang ini untuk kebaikan saya. Tapi rasanya seperti ada mafia bisnis yang bergerak di balik layar,” kata Nasri lirih.
Ketika Rumah Makan Jadi Medan Tekanan: Potret Suram Etika Bisnis Saumlaki
Kisah yang dialami Nasri membuka wajah lain dari geliat bisnis di Saumlaki. Di balik ramainya pertumbuhan usaha kecil dan UMKM, terselip praktik kotor berupa intimidasi terhadap pengusaha mikro. Kasus ini menyentuh isu penting: kebebasan bekerja, hak pengusaha kecil, dan pelanggaran terhadap prinsip keadilan ekonomi.
“Ini bukan soal Fikli semata. Ini soal bagaimana kekuasaan bisa digunakan untuk menekan orang kecil. Saya hanya ingin berusaha dengan tenang, tanpa rasa takut,” kata Nasri dengan suara bergetar.
Hingga Kini Belum Ada Klarifikasi
Sampai berita ini diterbitkan, pihak-pihak yang disebutkan dalam pengakuan Nasri. Koko Ai, Latoy, dan Lamena belum berhasil dikonfirmasi untuk dimintai tanggapan. Redaksi Kpktopikor.id terus berupaya menghadirkan informasi berimbang dan membuka ruang klarifikasi sesuai kode etik jurnalistik.
Sementara itu, Fikli masih bekerja seperti biasa di Nass Coffee. Namun Nasri mengaku tak bisa menjamin berapa lama kondisi ini dapat dipertahankan, mengingat tekanan yang terus mengintai dari balik layar.
Etika Bisnis dan Ancaman terhadap Demokrasi Ekonomi
Kisah ini menyisakan pertanyaan besar: apakah uang dan kekuasaan kini menentukan siapa yang boleh bekerja dan siapa yang tidak? Jika benar bahwa tekanan itu dilakukan oleh pihak yang merasa terganggu secara bisnis, maka kasus ini layak dikategorikan sebagai praktik intimidasi dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, khususnya dalam konteks perlindungan pekerja dan pelaku UMKM di daerah.
Petrus. L.
(Kaperwil Maluku)
Tidak ada komentar