Maluku, kpktipikor.id – Praktik mencengangkan terjadi di dunia pendidikan Indonesia timur. SMP Negeri 2 Fordata, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, diduga menerapkan sanksi tak wajar bagi siswa yang hendak pindah sekolah: wajib menyumbang kursi satu set!
Kebijakan itu dibenarkan langsung oleh Plt Kepala Sekolah, Tomas Boki, saat dikonfirmasi via telepon, Rabu (23/7/2025). Ia mengklaim, aturan tersebut lahir dari hasil musyawarah antara sekolah dan komite.
“Benar, disepakati lewat musyawarah. Kalau ada siswa yang melanggar atau pindah sekolah, dikenakan denda dalam bentuk kursi satu set,” ujar Boki.
Namun, dalih “musyawarah” ini justru jadi sorotan tajam. Seorang siswa bernama Naldi yang pindah ke Kaimana, Papua, dipaksa menuruti aturan itu. Kasus Naldi memicu kemarahan orang tua murid dan aktivis pendidikan.
Tak berhenti di persoalan pungutan, SMPN 2 Fordata juga disorot karena diduga mengabaikan prinsip keadilan akademik. Sebanyak 8 siswa dinyatakan tidak naik kelas semata karena bolos lebih dari 10 kali, tanpa melalui evaluasi menyeluruh terhadap kemampuan akademik maupun latar belakang penyebab absensi.
Ironisnya, absensi juga menjadi salah satu poin sanksi. Hal ini seolah mengabaikan hak anak untuk tumbuh dan belajar sesuai dengan kebutuhan dan tahapan perkembangan mereka.
“Keputusan tidak naik kelas harus didasarkan pada penilaian yang obyektif dan transparan. Mereka tidak diberi kesempatan remedial. Anak-anak malu, stres, dan sebagian terancam tidak melanjutkan sekolah,” kata seorang aktivis pendidikan setempat.
Pihak sekolah dinilai gagal memahami bahwa absensi bukan satu-satunya tolok ukur. Pendekatan psikologis dan pembinaan justru diabaikan.
Seorang sumber berita menyebut bahwa, pertemuan sekolah dan komite yang dijadikan dasar kebijakan hanya berlangsung sekali dan belum menghasilkan keputusan formal.
“Tidak ada risalah. Tidak ada dokumen resmi. Tapi langsung dijadikan dasar sanksi. Ini melanggar asas tata kelola pendidikan,” ujarnya.
Lebih ironis lagi, edaran resmi Bupati Kepulauan Tanimbar sudah menegaskan bahwa semua pungutan liar (pungli) harus dibatalkan demi hukum. Tapi sekolah tetap melanjutkan kebijakan sepihak ini.
Melawan Aturan Nasional!
Kebijakan SMPN 2 Fordata bertolak belakang dengan sejumlah regulasi nasional yang mengikat, antara lain:
UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1) dan (2):
“Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
“Pemerintah wajib membiayainya.”
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas:
Pasal 11 dan Pasal 34 melarang pungutan dalam pendidikan dasar.
Permendikbud No. 75 Tahun 2016:
Komite sekolah dilarang menarik uang atau barang dari siswa atau orang tua.
Permendikbud No. 1 Tahun 2021 tentang PPDB:
Pindah sekolah cukup dengan dokumen sah. Tidak ada syarat membayar.
Pendidikan Bukan Dagangan! Negara Jangan Diam
Praktik seperti ini tak bisa dibiarkan. Pendidikan bukan komoditas yang bisa dijual-beli lewat kursi atau uang. Setiap anak Indonesia berhak atas pendidikan yang manusiawi, inklusif, dan bebas diskriminasi.
Jika terbukti, Kepala Sekolah bisa dijerat sanksi administratif hingga pidana sesuai PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelayanan Publik dan pemberantasan pungli.
“Ini wajah buram pendidikan kita. Pemerintah harus turun tangan. Pendidikan bukan untuk ditakuti, tapi untuk membangun masa depan,” tegas salah satu aktivis pendidikan di Saumlaki.
Karena itu, Dinas Pendidikan Provinsi Maluku dan Inspektorat wajib turun tangan tanpa kompromi. Investigasi menyeluruh harus segera dilakukan, bukan hanya untuk mengembalikan hak-hak anak yang telah terampas, tetapi juga sebagai bentuk teguran keras terhadap arogansi birokrasi di dunia pendidikan. Plt Kepala Sekolah SMPN 2 Fordata harus dievaluasi secara menyeluruh agar kejadian serupa tidak lagi mencoreng masa depan generasi bangsa di pelosok negeri. Pendidikan harus kembali pada nilai dasarnya: membina, bukan menghukum.
Tidak ada komentar