Tanimbar, kpktipikor.id – Suasana panas menyelimuti sidang adat yang digelar di Kecamatan Wermaktian, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, pada Senin (23/6/2025). Dua marga, Lenunduan dan Watutmaan, bersitegang memperebutkan hak atas Pulau Sukler, sebuah pulau kecil yang terletak di depan Pulau Seira.
Sengketa ini berakar pada sejarah panjang warisan leluhur dan persoalan hak ulayat, serta memunculkan polemik tentang batas kewenangan hukum adat dan campur tangan negara dalam penyelesaian konflik antar masyarakat hukum adat.
Lembaga Adat Dinilai Absen, Prosedur Dipertanyakan
Sidang adat yang dipimpin oleh Kepala Desa Weratan, Wilzon Layan, atas mandat resmi Camat Wermaktian, langsung memanas saat Tomy Lenunduan, perwakilan dari Marga Lenunduan, melontarkan kritik keras terhadap legitimasi sidang.
“Jika kita bicara soal adat dan kebenaran, maka semua pemangku adat yang punya kapasitas harus duduk di sini. Tapi saya tidak melihat kehadiran lembaga adat secara lengkap,” tegas Tomy.
Tomy juga menegaskan bahwa Pulau Sukler adalah tanah warisan yang sejak dahulu kala diakui sebagai milik Marga Lenunduan oleh masyarakat adat di wilayah Weratan hingga Kamatubun.
“Apa yang diturunkan dari para leluhur, tetap kami pegang teguh. Jika pihak lain merasa keberatan, silakan ajukan ke pengadilan,” ucapnya.
Senada dengan Tomy, Boli Lenunduan, yang juga merupakan bagian dari keluarga besar pemilik Pulau Sukler, menegaskan bahwa sejak awal dirinya telah menolak klaim dari pihak lain yang tiba-tiba mengaku memiliki hak atas pulau tersebut.
“Sejak awal saya sudah menyatakan penolakan karena pihak yang mengklaim itu tidak kami kenal. Kami tidak tahu asal-usulnya, tiba-tiba muncul dan mengaku sebagai pemilik Pulau Sukler. Saya yakin, para tokoh yang duduk di depan ini sangat mengetahui bahwa Pulau Sukler adalah milik Marga Lenunduan,” tegasnya.
Kepala Desa Welutu: “Saya Difinitif, Tapi Tidak Dilibatkan”
Kritik keras juga datang dari Kepala Desa Welutu, Kibener Iyarmasa, yang menyatakan kekecewaannya karena tidak pernah diundang secara resmi, padahal wilayah administrasinya mencakup Pulau Sukler dan Marga Lenunduan adalah warganya.
“Saya kepala desa yang sah, tapi tidak diundang, tidak dilibatkan. Padahal ini menyangkut wilayah dan warga saya. Sementara pihak yang bukan warga Saya, justru membawa masalah ini tanpa laporan resmi,” tegas Kibener.
Ia juga mempertanyakan transparansi penggunaan anggaran sidang adat sebesar Rp20 juta yang berasal dari pemerintah, mengingat hasil sidang tidak menghasilkan keputusan.
“Saya bicara apa adanya. Saya tidak berpihak, tapi saya bicara berdasarkan porsi dan tanggung jawab saya sebagai kepala desa,” tambahnya.
Di pihak lain, Bori Watutmaan menilai bahwa proses sidang adat telah melalui tahapan yang sah. Bahkan, sebelumnya persoalan ini sempat dilaporkan ke kepolisian dan diarahkan untuk diselesaikan lewat mekanisme adat.
“Saya lahir dari adat. Hukum adat itu sudah ada sebelum republik ini berdiri. Tapi kalau tidak selesai di sini, maka jalur perdata adalah pilihan selanjutnya,” katanya.
Ketua Sidang: “Tidak Ada Titik Temu, Kita Tutup dan Serahkan ke Pengadilan”
Dalam wawancara eksklusif, Wilzon Layan selaku Ketua Sidang Adat menjelaskan bahwa persidangan merupakan tindak lanjut dari mediasi tahun 2024 atas rekomendasi Camat, dan melibatkan lima kepala desa, ketua BPD, serta tokoh adat dari lima wilayah.
“Sejak awal kami ingin agar persoalan ini diselesaikan secara adat. Tapi jika sidang tidak menghasilkan titik temu, apalagi terjadi penolakan dan ketegangan, maka keputusan terbaik adalah menyerahkannya ke jalur hukum formal sesuai keinginan kedua belah pihak.” tegas Wilzon.
Ia menambahkan bahwa sidang adat dijalankan bukan semata-mata untuk mengadili, tetapi untuk mencegah konflik berdarah antar keluarga besar.
“Saya tidak ingin pertumpahan darah terjadi hanya karena sengketa batas dan sejarah. Maka saya tutup sidang dan menyerahkan sepenuhnya kepada Pengadilan Negeri Saumlaki,” ujarnya.
Penutup: Ketegangan Hukum Adat dan Negara Masih Jadi Ujian
Kasus Pulau Sukler bukan sekadar soal kepemilikan lahan, melainkan gambaran nyata bagaimana ketegangan antara hukum adat dan hukum negara terus menguji keadilan sosial di daerah-daerah adat.
Ketika mekanisme adat tak bisa menjawab ketidakpuasan satu pihak dan lembaga adat dinilai tak utuh, maka negara wajib hadir secara adil, netral, dan transparan.
Kini, keputusan akhir terkait kepemilikan Pulau Sukler berada di tangan Pengadilan Negeri Saumlaki, yang diharapkan dapat memutuskan perkara ini secara adil dan bijaksana, berdasarkan fakta hukum yang objektif, rekam jejak sejarah adat, serta dengan tetap menjunjung tinggi hak-hak masyarakat hukum adat.
Tidak ada komentar