Pembangunan RSUD dr. P. P. Magretti di Ukurlaran, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, hingga kini belum juga difungsikan. Padahal, rumah sakit megah yang menelan anggaran besar itu diharapkan menjadi jawaban atas keterbatasan layanan kesehatan di daerah kepulauan.
Hingga saat ini, pintu pelayanan medis belum juga dibuka. Informasi yang beredar menyebutkan masih terdapat persoalan administrasi serta sisa pembayaran proyek yang mencapai puluhan miliar rupiah. Kondisi ini bukan hanya menghambat operasional, tetapi juga menimbulkan keresahan masyarakat.
“Rumah sakit sudah ada, tapi tidak bisa dipakai. Warga tetap kesulitan mendapat layanan kesehatan memadai. Ini ironis sekali,” ujar seorang tokoh masyarakat di Saumlaki, Jumat (27/9/2025).
Berdasarkan data BPS 2024, jumlah penduduk Kabupaten Kepulauan Tanimbar diperkirakan 132.337 jiwa, dengan lebih dari 82 ribu jiwa (62,93%) berada pada usia produktif (15–59 tahun). Angka tersebut menunjukkan kebutuhan mendesak akan fasilitas kesehatan yang memadai, baik untuk rawat inap, darurat, maupun pencegahan penyakit.
Saat ini, Tanimbar hanya memiliki tiga rumah sakit besar, yakni RS Fatima Saumlaki, RSUD dr. D. Anatototi (Tanimbar Utara), serta RSUD Ukurlaran yang masih mangkrak. Sementara itu, sebagian besar layanan kesehatan masih ditopang puskesmas dan klinik dengan keterbatasan tenaga medis maupun sarana prasarana.
“Dengan kondisi geografis kepulauan, keberadaan RSUD Ukurlaran sangat strategis untuk memperluas akses pelayanan kesehatan. Jika terus tertunda, masyarakatlah yang dikorbankan,” tegas seorang pemuda Tanimbar.
Keterlambatan operasional RSUD Ukurlaran kian menambah beban warga yang kerap harus dirujuk ke luar daerah dengan biaya besar. Sementara itu, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tanimbar masih minim, sehingga sangat bergantung pada transfer dari pemerintah pusat.
Meski pemerintah daerah menggulirkan berbagai program kesejahteraan, warga menilai hal tersebut tidak sebanding dengan kebutuhan nyata. “Bagus kalau ada program pemberdayaan, tapi kalau rumah sakit tidak berfungsi, semuanya terasa setengah jalan,” kritik seorang warga.
Ia bahkan menyebut persoalan RSUD Ukurlaran sebagai “bom waktu” yang berpotensi menimbulkan pemborosan anggaran sekaligus mengorbankan hak dasar masyarakat atas layanan kesehatan.
Sejumlah kalangan mendorong pemerintah daerah segera mengambil langkah konstruktif, antara lain:
1. Audit Independen terhadap fisik dan keuangan proyek, serta mempublikasikan hasilnya.
2. Penyelesaian Kewajiban pembayaran kontraktor agar operasional tidak terhambat.
3. Alokasi Anggaran Darurat untuk tenaga medis, obat, dan peralatan dasar.
4. Koordinasi Intensif dengan pemerintah provinsi dan kementerian terkait.
5. Partisipasi Publik melalui forum pengawas independen.
6. Penguatan PAD dengan menggali potensi ekonomi lokal demi keberlanjutan layanan.
Aktivis muda di Saumlaki menegaskan, “Ini saatnya pemerintah daerah membuktikan keberpihakannya. RSUD Ukurlaran jangan sampai menjadi monumen bisu pembangunan yang gagal.”
Masyarakat berharap kritik ini dipandang sebagai dorongan positif agar tata kelola pelayanan publik di Tanimbar semakin transparan, akuntabel, dan berpihak pada rakyat. Harapan besar kini bertumpu pada keberanian pemerintah untuk menuntaskan persoalan RSUD Ukurlaran demi menghadirkan layanan kesehatan yang bermartabat bagi seluruh warga kepulauan.
Tidak ada komentar