“Polemik Sapaan ‘Ontua’: Umat Katolik Desak Sony Ratisa Diproses Hukum atas Postingan yang Dinilai Tak Etis”

waktu baca 3 menit
Rabu, 25 Jun 2025 13:04 9 Kaperwil Maluku

Saumlaki, kpktipikor.id – Ketegangan mewarnai Mapolres Kepulauan Tanimbar, Selasa (24/6/2025), ketika puluhan umat Katolik mendatangi kantor polisi menuntut klarifikasi dan proses hukum terhadap Sony Ratisa. Ia dinilai telah membuat unggahan yang dianggap merendahkan martabat Uskup Agung melalui komentar di media sosial.

Massa menyuarakan tuntutan secara tegas:
“Kami mendesak Sony Ratisa hadir di Polres dan diproses hukum atas postingan yang memicu keresahan. Jika tidak ada tindakan, ini membuka peluang bagi tindakan di luar hukum yang bisa berujung pada premanisme. Kami tidak menginginkan itu terjadi.”

Akar Konflik: “Joging Toleransi Ontua”

Persoalan bermula dari unggahan Monsinyur Uskup Amboina yang tengah berolahraga, yang kemudian dicuit ulang oleh Sony Ratisa di grup WhatsApp “Cahaya Tanimbar” dengan tambahan komentar:
“Joging Toleransi Ontua pung judul keren.”

Kata “Ontua” inilah yang menyulut reaksi keras. Bagi sebagian umat Katolik, terutama yang berada dalam grup tersebut, sapaan itu dinilai tidak sesuai digunakan untuk menyebut seorang Uskup Agung, seorang figur sakral yang dalam tradisi Gereja Katolik selayaknya disapa dengan gelar kehormatan seperti “Monsinyur“, “Uskup Agung“, atau “Yang Mulia“.

Bahasa, Budaya, dan Etika: Perdebatan Konteks

Seorang narasumber menjelaskan bahwa dalam konteks bahasa Melayu Ambon, “Ontua” berarti ‘orang tua’ dan umum digunakan sebagai bentuk penghormatan dalam budaya lokal. Namun, konteks keagamaan menuntut sensitivitas yang lebih tinggi.

“Secara linguistik, istilah itu netral. Tapi dalam konteks gerejawi, penyebutan ‘Ontua’ untuk Uskup Agung dianggap tidak mencerminkan penghormatan institusional. Ini bukan soal bahasa semata, tapi juga etika dalam komunikasi publik,” jelas salah satu umat yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Mediasi Damai dan Peran Gereja

Setelah desakan massa, Sony Ratisa hadir di Mapolres Kepulauan Tanimbar dengan mobil pribadinya. Tak lama berselang, Wakil Uskup Wilayah Kepulauan Tanimbar dan Maluku Barat Daya, RD. Ponsianus Ongirwalu, tiba sekitar pukul 13.00 WIT. Kehadirannya menjadi elemen penting dalam meredakan ketegangan.

Proses dialog dan bimbingan rohani yang berlangsung secara terbuka berhasil menciptakan ruang tenang. Massa akhirnya membubarkan diri dengan tertib, menunjukkan bahwa jalur mediasi masih menjadi pilihan rasional dalam merawat keharmonisan sosial.

Refleksi: Etika Digital dan Sensitivitas Religius

Peristiwa ini membuka diskusi lebih luas tentang pentingnya etika digital, terutama dalam menyampaikan pendapat di ruang publik yang bersinggungan dengan figur keagamaan dan nilai-nilai sakral umat.

Kata dapat membangun, tetapi juga bisa melukai. terutama jika konteks budaya dan religius diabaikan. Di era komunikasi instan, kecermatan berbahasa menjadi tanggung jawab moral setiap individu, apalagi dalam masyarakat yang menjunjung tinggi harmoni antarumat.

Kini, masyarakat menunggu kejelasan akhir dari proses klarifikasi: apakah ini sekadar kesalahpahaman budaya, atau ada unsur pelanggaran yang patut diproses secara hukum.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA