PEMUNGUTAN SUARA ULANG (PSU): DEMOKRASI YANG TERNODA

waktu baca 5 menit
Rabu, 4 Jun 2025 13:37 88 kabiro kabupaten sarmi
Oleh: Victor Ruwayari
Pemerhati Demokrasi Lintas Papua


Putusan MK bersifat final dan mengikat. Maka, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak punya pilihan selain melaksanakan ulang pemungutan suara. Namun, publik harus diajak memahami bahwa PSU bukan sekadar perintah hukum ini adalah sinyal keras bahwa demokrasi kita tak baik-baik saja. Total ada 24 daerah yang terkena putusan PSU. Artinya, ada pola kerusakan yang sistemik, bukan insidental PSU bukan terjadi karena alam yang tak bersahabat atau bencana luar biasa. PSU terjadi karena kesalahan manusia—penyelenggara yang abai, pengawas yang lalai, dan peserta pemilu yang curang.

Dalam sistem hukum kita, PSU memang sah dan dijamin sebagai bentuk koreksi. Namun, koreksi tak boleh menjadi kebiasaan. Apalagi bila koreksi itu dibebankan kembali kepada korban dari proses yang korup. Dalam konteks ini, PSU bukan hanya problem teknis elektoral. Ia adalah gejala kegagalan struktural dalam penyelenggaraan pemilu. Jika PSU hanya dianggap sekadar pengulangan teknis, maka kita akan menormalisasi kekacauan. Lama-lama, publik akan berpikir: mencoblos ulang adalah hal lumrah. Padahal, setiap PSU adalah peristiwa luar biasa, yang menandai rusaknya fondasi utama demokrasi—yaitu kepercayaan. Yang lebih menyedihkan adalah soal anggaran. Paling menyayat, semua itu dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Uang rakyat kembali dikuras untuk memperbaiki sistem yang gagal menjaga integritas pemilu. Bayangkan, dalam situasi fiskal yang ketat, ketika daerah memangkas anggaran kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur, dana ratusan miliar rupiah justru dipakai untuk mengulang pemilu. Bukan untuk memajukan demokrasi, tetapi untuk menambal hasil demokrasi yang rusak karena kelalaian. Partisipasi dan kepercayaan publik terluka.

Dari perspektif hukum pemilu, terdapat beberapa akar masalah yang terus berulang. Pertama, lemahnya verifikasi administratif dan faktual terhadap syarat calon kepala daerah. Ketiga, tumpulnya fungsi pengawasan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Pengawas pemilu seharusnya menjadi garda terdepan untuk mencegah pelanggaran, bukan menunggu untuk bertindak setelah pemilu usai dan sengketa dilayangkan. Keempat, masih kuatnya praktik politik uang dan intervensi kekuasaan lokal yang merusak prinsip keadilan dalam kontestasi. Demokrasi tidak cukup dengan suara terbanyak jika proses mencapainya penuh tipu daya. PSU adalah biaya mahal dari ketidaksiapan sistem dan aktor demokrasi kita. Jika pemerintah dan penyelenggara pemilu tidak segera melakukan koreksi menyeluruh, maka PSU bisa menjadi pola baru yang terus terjadi di setiap pemilu.

Di Provinsi Papua, ribuan pemilih harus mengulang hak suaranya pada 6 Agustus 2025 mendatang. PSU bukan hanya problem teknis elektoral. Ia adalah gejala kegagalan struktural dalam penyelenggaraan pemilu. Jika PSU hanya dianggap sekadar pengulangan teknis, maka kita akan menormalisasi kekacauan. Lama-lama, publik akan berpikir: mencoblos ulang adalah hal lumrah. Padahal, setiap PSU adalah peristiwa luar biasa, yang menandai rusaknya fondasi utama demokrasi—yaitu kepercayaan. Dalam negara hukum, penyelenggara pemilu mestinya tunduk pada prinsip akuntabilitas.

Dalam kenyataan, siapa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan PSU? Tidak ada. Yang membayar adalah rakyat. Yang dihukum adalah partisipasi publik. Yang dilukai adalah kepercayaan. Dari perspektif hukum pemilu, terdapat beberapa akar masalah yang terus berulang. Pertama, lemahnya verifikasi administratif dan faktual terhadap syarat calon kepala daerah. Masih saja ditemukan kepala daerah yang maju meski secara hukum tidak layak karena belum memenuhi jeda lima tahun usai menjalani hukuman pidana. Ini bukan kekhilafan, ini pembiaran. Kedua, tidak profesionalnya penyelenggara pemilu. Sebagai pemerhati Demokrasi, saya melihat bahwa perlu ada langkah struktural untuk mencegah PSU menjadi praktik rutin. Pertama, evaluasi Kinerja Penyelenggara pemilu secara terbuka di daerah-daerah yang menjalani PSU. Tidak cukup hanya dengan mengatakan “kami siap laksanakan PSU”—harus ada audit internal dan publik terhadap penyebab kegagalan. Kedua, revisi regulasi untuk memperkuat sanksi bagi penyelenggara dan peserta pemilu yang terbukti melanggar dan menyebabkan PSU. Jika sanksi tidak tegas, maka pembiaran akan terus terjadi. Akibatnya, sistem terus dipermainkan.

Ketiga, alokasi anggaran PSU harus ditinjau kembali. Jika PSU adalah hasil dari pelanggaran yang disengaja atau kelalaian, maka pembiayaan seharusnya tidak sepenuhnya ditanggung APBD. Pemerintah pusat wajib ikut menanggung, bahkan mengambil alih, agar tidak menjadi beban pembangunan di daerah. Yang tidak kalah penting adalah membangun kembali kepercayaan publik terhadap pemilu. PSU adalah pukulan terhadap legitimasi demokrasi. Ketika warga diminta memilih ulang, muncul pertanyaan wajar: apakah suara pertama mereka tidak dihargai? Apakah yang kedua akan dihitung benar dan berdaulat?

PSU harus menjadi momentum evaluasi besar-besaran. Bukan sekadar pengulangan pemilu, tetapi penanda bahwa kita harus mulai membangun demokrasi yang lebih sehat, bermartabat, dan berpihak kepada rakyat, bukan elite politik yang gemar bermain di ruang abu-abu hukum. Dalam demokrasi yang sehat, kecurangan bukan diulang, tapi dihukum. Dalam negara hukum yang kuat, kesalahan bukan dibebankan ke korban, tapi ditanggung oleh pelakunya. Namun di negeri ini, yang terjadi justru sebaliknya: rakyat yang taat prosedur harus membayar ulang untuk demokrasi yang cacat sejak awal. Jika PSU menjadi hal biasa, maka keadilan menjadi ilusi, dan pemilu menjadi transaksi ulang.

Kita tidak sedang membenahi demokrasi. Kita sedang menukar suara rakyat dengan tagihan fiskal yang tak berkesudahan. Sudah saatnya kita menolak cara berpikir bahwa PSU adalah solusi. PSU adalah gejala. Gejala dari sistem pemilu yang terlalu rapuh untuk menampung beban integritas. Kita butuh reformasi total, bukan sekadar repetisi prosedural. Karena demokrasi yang cacat, meski diulang, tetap saja terluka. Dari Kabupaten Sarmi Negri 1000 Ombak Provinsi Papua, Saya Victor Ruwayari sampaikan ” Salam Demokrasi”.

kabiro kabupaten sarmi

Mantan Komisioner KPU Kabupaten Sarmi Periode 2014-2024.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA