Oleh. Victor Ruwayari Pemerhati Demokrasi Lintas.
PSU Pilkada Provinsi Papua tahun 2025 menyisahkan cela. Kecurangan yang terpampang nyata, kecurangan Pemilu banyak ditemukan, adalah money politic, intervensi dan Intimidasi aparatur negara terhadap masyarakat dan penyelenggara pemilu. Di Biak Numfor misalnya, viral video salah satu kader partai politik Golkar memainkan peran sebagai sutradara pada Penyelenggara Pemilu agar memanipulasi data. Dalam video nampak seorang penyelenggara pemilu membacakan surat suara sisa yang tidak terpakai (diberi tanda silang) di hitung kembali untuk kemenangan Paslon tertentu atas perintah Ketua dan Anggota KPU, seorang warga masyarakat membuka amplop yang diberikan, berisi sebuah kartu bergambar foto pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur.
Di Kabupaten kepulauan Yapen dan Kabupaten Mamberamo Raya, intervensi dan Intimidasi para aparatur negara terhadap masyarakat dan penyelenggara pemilu agar memenangkan pasangan calon tertentu.
Semua ini adalah fakta dalam proses demokratisasi pada Kontestasi politik PSU Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua tahun 2025 yang penuh dengan kecurangan.
Jika Pj Gubernur Provinsi Papua Agus Fatoni mengatakan bahwa pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua ini adalah pemilu terbaik sepanjang sejarah perjalanan demokrasi di tanah Papua itu, maka pernyataan itu merupakan bahasa “Kulit Kayu” lebih “jelas tipu anak kecil boleh”(bahasa sehari-hari Warga Papua).
Masyarakat Papua telah berdemokrasi dan berproses berdemokratisasi sejak dulu dalam berkontestasi politik mengisi kemerdekaan Indonesia hingga kini kemerdekaan Indonesia berumur 80 tahun, namun sepanjang perjalanan pemilihan umum ini adalah pemilihan paling terbobrok, amburadul dan tercela oleh para elit politik yang tersentralisasi.
Film Dirty Vote yang rilis menjelang pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua semakin membuka tabir tentang berbagai kecurangan yang dilakukan para peserta Pemilu. Parahnya, kecurangan dilakukan secara lebih terstruktur, sistematis, dan masif, dimana para pejabat aktif berkampanye dengan menyalahgunakan wewenang dan sarana prasarana negara. Paling menonjol adalah pembagian bantuan sosial yang tiba-tiba melonjak menjelang Pemilu. Bansos lalu diatasnamakan paslon tertentu agar meraup suara. Kecurangan seperti ini dikenal dengan istilah politik gentong babi.
Yang lebih menyayat adalah Pemilu demokrasi dalam praktek kecurangan. Secara teknis, Pemilu di Indonesia memang sangat komplek, akibat kondisi geografis indonesia yang luas dan penduduknya yang banyak. Sementara, basis data dan pengolahan data Indonesia masih sangat lemah dan tidak pernah akurat, menjadi celah mudahnya manipulasi suara.
Manipulasi terjadi paling tidak pada dua hal, yakni data pemilih dan rekapitulasi penghitungan suara berjenjang. Padahal, rekapitulasi penghitungan berjenjang masih membuka peluang adanya kesalahan penghitungan dan berujung manipulasi hasil perolehan suara. Proses pengawasan pun sangat minim dan cenderung formalitas. Kasus-kasus pelanggaran Pemilu tidak pernah diselesaikan serius hingga membuat jera.
Selain itu, terdapat relasi patronase politik yang kuat di antara para penyelenggara pemilu, pasangan calon (Paslon) dan pemilih. Patronase politik adalah penggunaan sumber daya untuk memberikan imbalan kepada individu yang telah memberikan dukungan elektoral. Bukan hanya relasi personal namun relasi struktural akhirnya digunakan. Di sinilah banyak pelanggaran berupa penyalahgunaan wewenang pejabat aktif.
Persoalan teknis di atas sejatinya berpangkal pada persoalan sistem demokrasi yang diterapkan. Sistem Demokrasi tegak atas asas sekularisme yang meminggirkan peran nilai demokrasi dalam kehidupan, menjadikan kebebasan manusia di atas aturan. Tak peduli lagi halal atau haram, yang penting menang. Tak peduli jika sampai menjatuhkan korban, demi kepentingan. Praktik suap, jual beli suara, pemalsuan tanda tangan, menekan secara struktural dan bentuk kecurangan lain sah-sah dilakukan, karena nilai demokrasi tak lagi digunakan, kecuali hanya untuk meraup suara dengan pencitraan.
Di sisi lain, masyarakat pun pragmatis. Asal dapat bantuan, tak masalah mencoblos yang mana. Banyak juga yang mengharap perubahan terjadi sehingga berprinsip setidaknya memilih yang paling baik di antara yang ada. Padahal, semua pilihan tidak ada yang beda. Sama-sama melanjutkan sistem yang sudah ada. Hanya slogan-slogannya saja yang berbeda.
Jika proses meraih kekuasaan penuh dengan kecurangan dan manipulasi, pemimpin seperti apa yang dilahirkan? Nyatanya, Pemilu demokrasi melahirkan pejabat yang korup. Menurut studi Komisi Pemberantasan Korupsi, penyebab paling besar tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat yang terpilih dari proses pemilu (pilkada) adalah ongkos politik yang mahal. Biaya politik calon bupati atau wali kota rata-rata mencapai Rp30 miliar. Sementara gaji bupati atau wali kota terpilih selama 5 tahun, di bawah biaya politik tadi. Begitu pula biaya politik menjadi gubernur bisa mencapai Rp100 miliar. Sedangkan untuk pemilihan presiden, biayanya tidak terhingga alias unlimited. Kondisi tersebut akhirnya menjadikan korupsi sebagai jalan pintas untuk pejabat publik mencari ongkos tambahan.
Akhirnya, rakyat yang di bungkam suaranya menentukan nasib daerah hanya menjadi stempel bagi kekuasaan. Setelah yang menang berkuasa, bukan suara rakyat yang didengar, melainkan suara pemilik modal, akibat politik balas budi pasca pemilu. Rakyat malah dibebani rakyat dengan setumpuk hutang, pajak, dan beban hidup yang kian tinggi. Janji-janji indah saat Pemilu tinggalah janji. Perubahan yang dimimpikan pun jauh panggang dari api. Inilah fakta sistem demokrasi yang cacat dan curang dari asasnya.
Intimidasi penyelenggara pemilu merupakan Fenomena kecurangan yang dikhawatirkan bakal meningkat, adanya intimidasi dari aparatur negara kepada penyelenggara pemilu. Di sana aparatur negara bisa saja mendekati pemilih dan secara terselubung mengajak agar memilih calon tertentu.
Pemilu sejatinya adalah sarana bagi kedaulatan rakyat untuk menentukan nasib dan masa depan bangsa secara demokratis. Namun, pada Pemungutan Suara Ulang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua yang diharapkan mampu melahirkan pemimpin yang berasal dari suara rakyat berakhir buruk akibat berbagai akrobat politik dan kecurangan yang terjadi. Supremasi hukum runtuh dan hampir mustahil dapat tegak di tengah tata kelola pemerintahan yang sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme tersebut. Hukum direkayasa sedemikian rupa demi melanggengkan dinasti politik. Hal ini menandakan demokrasi yang telah dibangun lebih dari dua dekade berada di tepi jurang otoritarianisme.
Sejak awal banyak pihak telah mencurigai proses yang mengawali tahun politik ini dengan ragam langkah pengkondisiannya. Antara lain revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, UU IKN, isu presiden tiga periode, dan narasi penundaan pemilu. Banyak pihak mengendus langkah ini sebagai bagian dari praktek-praktek kecurangan yang terjadi pada Pemilu 2024.
Lebih jauh, proses penunjukkan pejabat (Pj) kepala daerah sarat dengan masalah. setidaknya, banyak kepada daerah yang mengisi kekosongan jabatan publik menjadi ladang dan bancakan intervensi untuk memastikan hasil Pemilu. Menurut laporan Ombudsman, terdapat sejumlah maladministrasi yang menjadi persoalan serius dalam proses penunjukkan Pj ratusan kepala daerah.
Rakyat kemudian dipaksa mengamini hasil Pemilu dengan berbagai “prosedur legal” tapi tidak legitimate tersebut. Sebab, prosesnya secara terang-terangan telah menabrak berbagai aturan, etika, dan kepatutan bangsa kita dalam berdemokrasi. Bahkan, menghalalkan segala cara melalui politik Bansos yang dibiayai APBN menjelang Pemilu, mobilisasi aparatur negara untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Pemilu kemudian menjadi ajang konsolidasi untuk melanggengkan penguasaan atas sumber-sumber agraria yang menjadi hajat hidup rakyat. Tidak sulit untuk mengatakan bahwa Pemilu adalah pemilu paling brutal pasca reformasi di Provinsi Papua.
Konsolidasi ini telah membentuk pemilu yang dipenuhi oleh kecurangan, berbagai Institusi resmi demokrasi, seperti partai politik, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu, serta Mahkamah Konstitusi telah dilumpuhkan dan dikendalikan oleh elite politik yang terhubung kepada jejaring oligarki. Akhirnya berbagai institusi itu tunduk dan melayani kepentingan elektoral oligarki sekaligus menjustifikasi kecurangan Pemilu. Tujuannya jelas, melanjutkan kekuasaan untuk menguasai sumber-sumber daya alam.*)
Tidak ada komentar