Papua Dan Demokrasi Bola Pimpong Di Tengah Toko Senyum 5000: Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia.

waktu baca 5 menit
Rabu, 3 Sep 2025 10:55 57 kabiro kabupaten sarmi
Oleh Victor Ruwayari 
Pemerhati Demokrasi Lintas Papua.

 

Oligarki menguasai instrumen demokrasi Indonesia untuk kepentingan mereka, merayap dan menyusup ke berbagai daerah diIndonesia.

Otoritarianisme gaya baru berujung pada menyempitnya ruang sipil.

Delapan dekade setelah kemerdekaan, cita-cita pendiri bangsa Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis semakin jauh terperosok ke dalam jurang kehancuran.

Apakah Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sila ke lima Pancasila masih hidup dalam praktek berbangsa kita, atau hanya menjadi slogan kosong dalam upacara seremonial? Apakah “Bhinneka Tunggal Ika” masih menjadi prinsip, atau tinggal menjadi tulisan di pita burung Garuda? Demokrasi adalah pilihan yang dipilih oleh para pendiri bangsa. Namun hari ini, demokrasi kita tampak lelah. Politik uang, manipulasi opini publik, penggembosan oposisi, dan minimnya ruang kritik adalah gejala-gejala penyakit demokrasi yang akut.

Delapan puluh tahun bukan waktu yang singkat bagi sebuah bangsa. Ini adalah usia yang sangat matang, di mana seharusnya karakter, arah, dan kekuatan bangsa telah mengakar kuat dan jelas. Namun, ketika Indonesia menginjak usia ke-80, kita justru berdiri di sebuah persimpangan jalan dalam suasana transaksional mengobral barang murahan didalam sebuah toko kelontong senyum 5000 antara kemajuan dan kemunduran, antara harapan dan kecemasan, antara menjadi bangsa besar atau hanya bangsa besar dalam angan-angan.

Kemerdekaan yang diraih dengan darah dan nyawa seharusnya menjadi fondasi untuk membangun Indonesia yang adil, makmur, dan berdaulat. Namun, pertanyaan besar menggantung: sudahkah kita benar-benar merdeka dalam arti sesungguhnya? Ataukah kita justru tengah menghadapi ujian terberat dari perjalanan panjang kemerdekaan itu sendiri? Apakah nilai-nilai demokrasi ini telah dibuktikan dalam delapan dekade Indonesia merdeka?

Papua dengan Luas 420.540 km dan terdiri dari 255 suku, beragam bahasa. Keberagaman ini adalah kekuatan yang perlu dipertahankan. Dalam dekade terakhir, polarisasi politik, Fanatisme hingga intoleransi. Narasi kebangsaan kerap dikalahkan oleh semangat kelompok. Padahal, keberhasilan nilai-nilai Kasih yang selama ini menjadi fondasi kuat Orang Asli Papua kini mulai luntur secara perlahan ketika Para oligarki politik Indonesia menyususup memporak porandakan tatanan hidup bermasyarakat yang hidup berdampingan mulai hancur, nilai-nilai kemanusiaan mulai hancur semua ini karna kerakusan.

Kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah sila kelima dari Pancasila masih hidup dalam praktek berbangsa kita, atau hanya menjadi slogan kosong dalam upacara seremonial? Apakah “Bhinneka Tunggal Ika” masih menjadi prinsip, atau tinggal menjadi tulisan di pita burung Garuda?

Demokrasi adalah pilihan yang dipilih oleh para pendiri bangsa. Namun hari ini, demokrasi kita tampak sedang dipermainkan seperti bola Pimpong, Politik uang, manipulasi opini publik, penggembosan oposisi, dan minimnya ruang kritik adalah gejala-gejala penyakit demokrasi yang akut. Rakyat masih memilih dalam pemilu, tetapi apakah suara mereka benar-benar menentukan arah Negeri ini?

Saat ini penguasa lebih sibuk membangun dinasti politik daripada memperbaiki kualitas hidup rakyat, maka demokrasi kita kehilangan rohnya. Kebebasan berpendapat terancam oleh pasal-pasal karet, barang-barang pecah belah murahan yang yang diobral oleh oligarki politik dan suara-suara kritis dibungkam atas nama stabilitas. Demokrasi diuji: apakah kita masih bangsa merdeka jika rakyat takut bicara?

Papua pada yang umumnya menjadi kebanggaan bagi Bangsa Indonesia dengan Sumber Daya Alamnya menjadi penyumbang terbesar namun Sumber Daya Manusianya terabaikan.

Papua dengan pertumbuhan ekonomi yang mulai membaik, kini di perhadadapkan dengan krisis demokrasi seakan bola Pimpong dalam sebuah arena turnamen yang digelar oleh para oligarki politik dengan menyandra rakyat yang digiring dalam sebuah toko kelontong senyum 5000 dengan obralan murahan, pembangunan infrastruktur yang masif di balik ketimpangan sosial yang tetap mencolok. OAP kehilangan kesempatan berkarir dan berkarya yang secara terstruktur dan sistematis yang menyebabkan hilangnya sebuah Harapan.

Masih banyak Generasi muda OAP hingga saat ini masih saja menghadapi realitas sulit: pendidikan mahal, lapangan kerja terbatas, dan biaya hidup melambung. Di sisi lain, segelintir elit politik bangsa terus memperkaya diri, dan kekayaan nasional masih terkonsentrasi pada kelompok kecil. Ini bukan sekadar masalah ekonomi, melainkan soal keadilan. Sebuah bangsa akan rapuh bila sebagian besar rakyatnya merasa ditinggalkan.

Di usia 80 tahun, bangsa ini seharusnya berpikir jauh ke depan untuk membangun sebuah keadilan sosial yang sejatinya. Kerusakan lingkungan terus terjadi: hutan ditebang, sungai tercemar, laut dipenuhi sampah, dan udara penuh racun. Demi pertumbuhan ekonomi jangka pendek, kita mengorbankan masa depan anak cucu. Masyarakat tak hanya kehilangan fisik, tapi juga martabat dan identitas kultural mereka. Bencana ekologis bukan lagi musibah alam, tapi akibat kebijakan yang tamak.

Kemerdekaan tidak ada artinya jika rakyatnya harus hidup di tengah bencana buatan manusia. Demokrasi Indonesia sedang diuji: apakah kita bangsa yang bijak mengelola warisan alam, atau generasi yang menghancurkan tanah airnya sendiri?

Yang lebih mengkhawatirkan dari krisis Demokrasi dan kepercayaan publik terhadap Pemerintah Yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, sosial dan politik adalah krisis moral. Korupsi terus merajalela, kepentingan Oligarki semakin nyata bahkan di lembaga-lembaga penegak hukum. Pemimpin dipilih bukan karena kapasitas, tapi karena popularitas. Banyak elite sibuk menjaga citra, bukan memperjuangkan nasib rakyat. Ketika integritas menjadi barang langka, maka proses demokrasi  bangsa ini berada dalam ketidaktransparan.

Papua butuh pemimpin-pemimpin yang tak hanya cerdas, tapi juga berani, jujur, dan punya visi jangka panjang. Bukan pemimpin yang mengejar kekuasaan demi nama dan warisan politik, tapi yang mampu merawat kemerdekaan hak kultur OAP dengan tanggung jawab dan keberanian moral.

Persimpangan jalan itu semakin nampak, Indonesia harus lebih bijak dalam memberikan kesempatan kepada OAP bukan hanya OTSUS tetapi juga hak dasar yang melekat dalam kehidupan sehari-hari untuk mengisi penghidupannya menjadi bagian dari bangsa besar yang berdaulat, adil, dan bermartabat sehingga tidak terjebak dalam lingkaran konflik, ketimpangan, dan kehancuran lingkungan. Masa depan tidak akan datang dengan sendirinya. Ia harus diperjuangkan.

Ujian-ujian ini tidak hanya milik pemerintah atau elite politik, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia. Di usia 80, kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah kita hanya ingin jadi penonton sejarah, atau menjadi pelaku yang mengarahkan ke mana bangsa ini akan melangkah?

Delapan puluh tahun kemerdekaan Indonesia adalah momen refleksi sekaligus titik tolak. Ini bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tapi tentang merumuskan masa depan Papua Jika kita gagal menjawab ujian-ujian ini, maka kemerdekaan yang diwariskan para pahlawan akan tinggal menjadi cerita dalam sebuah catatan kusam.

Semua itu jika kita mampu menjawabnya dengan keberanian, kejujuran, dan kebersamaan, maka persimpangan jalan ini bisa menjadi awal dari kebangkitan baru Bagi Papua bangkit yang bukan hanya merdeka secara politik, tapi juga secara utuh: dalam pikiran, dalam perut, dalam lingkungan, dan dalam hati nurani.*)

kabiro kabupaten sarmi

Mantan Komisioner KPU Kabupaten Sarmi Periode 2014-2024.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA