Saumlaki, kpktipikor.id – Fenomena memprihatinkan tengah berlangsung di Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Sejumlah organisasi kepemudaan yang seharusnya menjadi ruang aktualisasi generasi muda kini perlahan digiring masuk dalam orbit kekuasaan. Strategi ini bukan sekadar pembinaan, melainkan bentuk sistematis dari pembungkaman terhadap suara-suara kritis di tengah masyarakat.
Langkah kekuasaan ini terpantau mulai menguat dalam satu tahun terakhir. Organisasi-organisasi pemuda seperti OKP, komunitas kampus, dan lembaga adat pemuda, kini banyak dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki kedekatan politik dengan elit pemerintahan. Tujuannya untuk menetralisir potensi kritik dan aksi-aksi demonstrasi yang selama ini muncul dari barisan muda.
Dalam wawancara bersama KPK Tipikor.ID, aktivis senior Yakobus Imsula menyebut fenomena ini sebagai penipuan publik. “Organisasi itu tempat bertumbuh, bukan untuk dikendalikan. Ketika mereka dijadikan alat kekuasaan, maka itu pembunuhan karakter terhadap generasi muda kita,” tegasnya.
Yakobus menambahkan, organisasi-organisasi kini kehilangan roh perjuangan. Tidak ada lagi diskusi kritis tentang pembangunan, tidak terdengar lagi suara lantang menyoal ketimpangan sosial, dan tak tampak lagi gerakan solidaritas yang bersentuhan dengan penderitaan rakyat. “Pemuda dijauhkan dari idealisme dan digiring menjadi boneka,” ujarnya getir.
Kondisi ini diperparah oleh keterlibatan sejumlah senior yang dahulu dikenal sebagai aktivis. Mereka kini justru menjadi agen pembungkaman. Dengan dalih ‘pembinaan’, mereka mendorong adik-adik muda untuk taat sepenuhnya pada penguasa, menolak kritik, dan menjalankan agenda yang telah diarahkan. “Mereka menghancurkan organisasi dari dalam,” katanya.
Fenomena ini disebut-sebut menjadi bagian dari strategi lebih besar untuk menciptakan situasi sosial yang steril dari kritik. Pemerintah daerah, dalam beberapa pernyataan publik, memang kerap menekankan pentingnya stabilitas, namun dalam praktiknya stabilitas itu dicapai dengan mematikan ruang gerak para pemuda.
Tekanan terhadap aktivis muda pun makin terasa. Mereka yang bersuara kerap mendapatkan intimidasi, baik secara struktural maupun psikologis. Mulai dari penandaan sebagai pembangkang, hingga ancaman hilangnya akses beasiswa, pekerjaan, bahkan tekanan terhadap keluarga. “Suasana makin represif, tapi dilakukan dalam diam,” ungkapnya
Menurut Yakobus, ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi. Tanimbar, yang dahulu dikenal sebagai kawasan yang subur dengan gerakan intelektual dan aktivisme pemuda, kini mulai sepi. “Kritik dianggap kejahatan, aktivis dianggap ancaman. Ini bukan demokrasi,” tegasnya.
Ia juga menyoroti bahwa ruang organisasi kini lebih sering dipakai untuk aktivitas seremonial atau dukungan simbolik kepada kekuasaan. “Isi organisasinya kosong. Pemuda hanya dipakai tampil untuk foto-foto kegiatan pemerintah, bukan mengasah pikiran,” katanya.
Dalam kondisi seperti ini, ia menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat, khususnya orang muda, untuk kembali membangkitkan semangat organisasi sebagai alat perjuangan rakyat. “Organisasi bukan milik elit, bukan milik senior, tapi milik perjuangan dan pemuda itu sendiri,” pungkasnya.
Ketika ditanya apa yang bisa dilakukan, Yakobus menekankan pentingnya membangun jaringan alternatif. Ia menyarankan agar pemuda-pemuda membentuk forum-forum terbuka, diskusi independen, dan menghidupkan kembali semangat kritis lewat media sosial dan komunitas lokal. “Kita harus merebut kembali organisasi kita,” serunya.
Kasus ini menjadi alarm keras bagi demokrasi lokal di Tanimbar. Jika dibiarkan, generasi muda akan tumbuh dalam ketakutan dan kepatuhan buta. Dan jika organisasi telah dikendalikan kekuasaan, maka seluruh proses kaderisasi pemimpin masa depan akan rusak. Demokrasi yang sehat hanya mungkin lahir dari pemuda yang bebas berpikir dan berani berkata benar. (Esau Luturmas)
Tidak ada komentar