Saumlaki,kpktipikor.id – Kebijakan tidak naik kelas yang menimpa delapan siswa asal Sofyanin di SMP Negeri 2 Yaru menuai sorotan tajam dari mantan kepala sekolah, John Wuarmanuk. Ia menilai keputusan tersebut janggal dan bertolak belakang dengan prinsip Kurikulum Merdeka yang menekankan agar siswa tidak ditahan kelas.
Wuarmanuk, yang pernah menjabat sebagai Kepala SMP Yaru Tengah Sofyanin Raya selama 12 tahun dan SMP Negeri 2 Yaru selama 7 tahun dengan total 19 tahun pengabdian menegaskan bahwa selama masa kepemimpinannya, tidak ada satu pun siswa yang ditahan kelas maupun gagal lulus.
“Selama saya menjabat kepala sekolah, semua siswa naik kelas tanpa diskriminasi ras maupun suku. Tetapi anehnya sekarang delapan anak asal Sofyanin tidak naik kelas hanya karena alasan bolos dan malas ke sekolah,” ujarnya Wuarmanuk di WhatsApp grup Lodar Kou Nusantara.
Wuarmanuk juga mempertanyakan mekanisme pengawasan wali kelas dan guru terhadap siswa yang sering absen. Menurutnya, seharusnya ada buku kunjungan siswa yang menjadi bukti fisik hasil pemantauan, ditandatangani oleh orang tua, siswa, dan wali kelas.
“Apakah wali kelas sudah melakukan kunjungan ke rumah siswa yang sering alpa? Apakah ada bukti tertulis? Saya lihat keputusan itu hanya berdasarkan kesepakatan tanpa dasar yang jelas,” tegasnya.
Ia menambahkan, kebijakan semacam ini berpotensi merugikan masa depan siswa yang sebenarnya memiliki potensi akademik, namun terhambat karena faktor non-akademis dan dugaan diskriminasi.
Lebih jauh, Wuarmanuk menyinggung adanya praktik diskriminasi terhadap guru dan pegawai honorer asal Sofyanin. Ia menilai, banyak tenaga pendidik yang sudah lama mengabdi di SMP Yaru Tengah maupun SMP Negeri 2 Yaru justru tidak diberi kesempatan dalam seleksi CPNS maupun PPPK.
“Kalau orang lain cepat diterima, tapi guru dan pegawai honor asal Sofyanin sulit sekali. bahkan harus diminta menyembah atasan dulu baru dipertimbangkan. Bagaimana pendidikan mau maju kalau seperti ini?” katanya dengan nada kritis.
Wuarmanuk juga mengingat kembali pengalaman bersama Alo Balia dalam memperjuangkan penegerian SMP Yaru Tengah dan pendirian SMP Negeri 2 Yaru yang kala itu menghadapi tantangan keras, baik dari masyarakat maupun sebagian guru.
Sebagai mantan pendidik, Wuarmanuk menegaskan perlunya transparansi, profesionalisme, serta penghapusan sikap iri hati dan dendam di kalangan pendidik maupun aparat pendidikan di SMP Negeri 2 Fordata.
“Kalau guru dan pegawai masih terjebak dalam kebencian dan diskriminasi, kapan kita bisa maju? Pendidikan harus jadi ruang yang adil untuk semua anak tanpa memandang asal-usul,” pungkasnya.
Tidak ada komentar