Maluku, kpktipikor.id -Gerakan Mahasiswa (GEMA) Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Bupati dan DPRD Kabupaten Maluku Tenggara pada Jumat (20/6), sebagai bentuk penolakan terhadap aktivitas pertambangan yang dilakukan PT Batu Licin dan sejumlah perusahaan tambang lainnya di wilayah adat Kei Besar. Aksi berlangsung dari pukul 11.30 hingga 14.45 WIT dan berjalan dengan tertib.
Aksi ini digelar dengan latar belakang kekhawatiran mahasiswa atas dampak lingkungan dan ancaman terhadap wilayah adat akibat aktivitas pertambangan. Mereka menuding bahwa eksploitasi yang dilakukan PT Batu Licin (PT BBA) dan PT PBA telah merusak ekosistem serta mengabaikan hak-hak masyarakat adat Kei Besar, khususnya di Desa Nerong dan Mataholat.
Koordinator aksi adalah Dominikus Marlon Fautngiljanan yang memimpin sekitar empat orang peserta aksi. Selain Marlon, orasi juga disampaikan oleh Azriel Tusyek, Ibnu Abas, dan Fauzi Rumaf. Meskipun jumlah massa tergolong kecil, namun semangat dan pesan mereka tetap tegas dan lantang.
Peserta aksi menggunakan dua buah pamflet yang bertuliskan “Save Kei Besar: Hentikan segala bentuk eksploitasi lingkungan di Kei Besar” dan “MTR, Stop Ekspor Tambang Maluku, Tenggara Rusak, Save Kei Besar”. Selain itu, mereka menggunakan satu unit toa dan dua kendaraan roda dua (KR2) sebagai alat pendukung aksi.
Dalam aksi tersebut, para mahasiswa menyampaikan sepuluh tuntutan utama, antara lain:
Aksi dimulai pada pukul 11.00 WIT saat massa berkumpul di Taman Watdek. Mereka kemudian bergerak menuju Kantor Bupati Maluku Tenggara dan tiba sekitar pukul 11.30 WIT. Setelah melakukan orasi singkat, mereka mencoba berkoordinasi dengan pejabat di Kantor Bupati.
Namun, karena Bupati dan Wakil Bupati tidak berada di tempat, massa hanya diterima oleh perwakilan pemerintah, Bapak F. Maswatu. Setelah menerima informasi tersebut, massa memutuskan untuk meninggalkan kantor bupati dan melanjutkan aksi ke gedung DPRD Maluku Tenggara.
Sekitar pukul 12.20 WIT, massa tiba di Kantor DPRD Malra dan menunggu hingga waktu salat Jumat selesai. Pukul 13.05 WIT, mereka kembali melanjutkan orasi di depan gedung DPRD. Kemudian pukul 13.37 WIT, Anggota DPRD Muhammad Tamher bersama tiga staf keluar menemui massa aksi.
Dalam dialog tersebut, Tamher menyampaikan bahwa pemberian izin kepada PT Batu Licin merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi Maluku. Namun ia menegaskan bahwa DPRD Maluku Tenggara juga menolak aktivitas pertambangan di Desa Nerong dan Mataholat. Pernyataan ini diterima oleh massa aksi, yang kemudian membubarkan diri dengan tertib pada pukul 14.20 WIT.
Meski hanya melibatkan empat orang demonstran, aksi ini mencerminkan keprihatinan serius terhadap keberlangsungan lingkungan hidup dan keberadaan masyarakat adat. Dalam catatan pengamat sosial, demonstrasi kecil semacam ini bisa memantik gelombang solidaritas lebih besar, terutama jika mendapatkan dukungan dari komunitas adat, LSM lingkungan, hingga perhatian media nasional.
Pakar lingkungan dan aktivis HAM yang mengikuti isu ini dari jauh menyatakan bahwa eskalasi bisa terjadi apabila tuntutan mahasiswa tidak direspons secara serius. Potensi aksi lanjutan, termasuk pelibatan lebih banyak massa atau blokade jalan, bukan tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat.
Aksi ini membuka ruang diskusi publik terkait transparansi izin usaha pertambangan di Maluku Tenggara. Permintaan audit AMDAL dan keterbukaan informasi menjadi catatan penting yang harus dijawab oleh pemerintah provinsi dan pusat. Jika pemerintah tetap abai, maka penolakan terhadap tambang bisa meluas menjadi isu politik dan ekologis yang lebih besar di kawasan timur Indonesia.
Selain itu, ketegangan antara investasi pertambangan dan perlindungan hak-hak adat menjadi tantangan besar bagi pemerintah daerah dan legislatif. Rehabilitasi lingkungan yang diminta tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga menyangkut tanggung jawab moral terhadap keberlanjutan generasi di Kei Besar.
Aksi unjuk rasa GEMA Tual dan Malra pada 20 Juni 2025 menjadi peringatan bahwa isu pertambangan di Maluku Tenggara bukan hanya soal ekonomi, tetapi menyangkut hak asasi manusia, perlindungan wilayah adat, dan kelestarian lingkungan. Pemerintah di semua tingkatan diharapkan segera merespons dengan kebijakan yang transparan, adil, dan berpihak pada rakyat serta alam Kei Besar. (Frets)
Tidak ada komentar