Saumlaki,kpktipikor.id -Razia gabungan kendaraan bermotor yang digelar oleh Samsat Kepulauan Tanimbar, Jasa Raharja, dan Satlantas Polres Kepulauan Tanimbar, pada Selasa (12/8/2025), pukul 17:00 WIT, bukan hanya menjadi ajang penegakan hukum di jalan raya. Peristiwa ini justru memantik sorotan tajam terhadap sikap Kepala Samsat Saumlaki, Anita Patiselano, yang dinilai arogan dan enggan memberikan keterangan resmi kepada media.
Kejadian bermula saat wartawan media ini meminta penjelasan terkait target dan prosedur razia di ruas jalan Pelabuhan Saumlaki sekitar pukul 18.00 WIT. Alih-alih memberikan jawaban yang informatif, Anita merespons dengan nada tinggi dan gestur yang dianggap tidak bersahabat. Situasi semakin panas ketika salah satu rekannya yang sedang bertugas menanyakan legitimasi Pers dan juga dari Jasa Raharja, Yulio, oknum dua orang dari instansi berbedah ini melontarkan komentar bernada meremehkan dan mempertanyakan legitimasi wartawan meski telah menunjukkan kartu pers resmi.
Kendati begitu, Setelah berita dimuat oleh beberapa media di Saumlaki, Ironisnya, kepada seorang wartawan yang dekat dengannya, Anita sempat mengakui bahwa dirinya tengah “pusing dengan anak buah sendiri”.
Namun keterangan kepada rekan Wartawan media ini, ia tetap menunjukkan sikap defensif dan merasa tidak bersalah atas insiden tersebut. Dalih ini menambah kesan bahwa masalah internal justru dilampiaskan kepada pihak luar, termasuk jurnalis yang tengah menjalankan tugasnya.
Sejumlah jurnalis dan pemerhati kebebasan pers di Tanimbar menilai sikap tersebut mencerminkan lemahnya kapasitas komunikasi publik seorang pejabat negara. “Pejabat publik wajib menjadi teladan, terbuka pada media, dan menghormati pers sebagai pilar demokrasi. Apalagi ini kegiatan resmi, keterangannya harus jelas agar masyarakat paham,” tegas seorang wartawan senior di Saumlaki.
Razia yang melibatkan tiga instansi seharusnya menjadi momentum edukasi publik: Samsat untuk penertiban pajak kendaraan, Satlantas untuk pemeriksaan kelengkapan berkendara, dan Jasa Raharja untuk sosialisasi asuransi kecelakaan. Namun, buruknya manajemen interaksi justru merusak citra institusi dan berpotensi melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap pimpinan.
Secara hukum, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara dan memberikan hak bagi jurnalis untuk mencari serta menyebarkan informasi. Menghalangi tugas pers dapat dikenakan pidana hingga dua tahun atau denda maksimal Rp500 juta. Selain itu, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mewajibkan badan publik menyediakan informasi secara cepat, tepat, dan sederhana.
Kasus ini diharapkan menjadi pelajaran bagi semua pejabat publik di Tanimbar untuk mengedepankan etika komunikasi, menghormati kebebasan pers, dan membangun sinergi yang sehat dengan media demi transparansi informasi kepada masyarakat.
Tidak ada komentar