Fakta Mengejutkan Di Lapangan ” Mengapa Perangkat Desa Sering Tertutup Soal Dana Desa? “.

waktu baca 5 menit
Jumat, 26 Sep 2025 20:00 5 Admin Pusat

Sumedang , kpktipikor.id -Dana desa adalah instrumen penting dalam pembangunan di tingkat akar rumput. Sejak digulirkan melalui Undang-Undang Desa, dana ini menjadi simbol keadilan fiskal yang memberi ruang bagi masyarakat untuk ikut menikmati hasil pembangunan secara langsung. Namun, di balik semangat itu, terdapat problematika yang kerap muncul: mengapa setiap kali masyarakat bertanya tentang penggunaan dana desa, perangkat desa sering terlihat risih, berbelit-belit, bahkan dalam kasus tertentu muncul intimidasi terhadap warga yang kritis.

Fenomena ini bukan sekadar cerita individual, melainkan cermin dari problem transparansi yang belum sepenuhnya terwujud. Dalam praktiknya, masyarakat sering mendapati jawaban yang mengambang ketika mengajukan pertanyaan sederhana: Berapa dana desa yang diterima, digunakan untuk apa, dan bagaimana hasilnya? Alih-alih mendapat penjelasan yang jelas, warga justru menghadapi tembok komunikasi yang kaku, bahkan disertai sikap defensif dari perangkat desa.

Budaya Tertutup dalam Pengelolaan Anggaran :

Salah satu akar masalah adalah budaya birokrasi desa yang masih kental dengan pola lama:
Anggaran dianggap sebagai urusan internal pemerintahan. Informasi keuangan tidak dipandang sebagai hak publik, melainkan rahasia yang hanya boleh diketahui lingkaran terbatas. Cara pandang seperti ini bertolak belakang dengan prinsip dasar dana desa yang mewajibkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.

Rasa risih ketika ditanya seringkali lahir dari ketidaknyamanan perangkat desa menghadapi keterbukaan. Mereka belum terbiasa bahwa masyarakat berhak tahu. Ketika warga menuntut penjelasan, ada kekhawatiran akan disalah pahami, apalagi jika perangkat desa sendiri tidak menguasai detail teknis anggaran. Inilah yang menimbulkan kesan berbelit-belit.

Antara Takut Disalahartikan dan Menutupi Penyimpangan :

Tidak bisa dipungkiri, pengelolaan dana desa adalah ranah yang sarat aturan teknis. Mulai dari perencanaan, RAB, APBDes, hingga laporan pertanggungjawaban yang harus disampaikan ke tingkat kabupaten atau kota. Kompleksitas ini kadang membuat perangkat desa enggan menjawab, karena khawatir penjelasan yang diberikan justru dipelintir atau menimbulkan isu baru.

Namun, ada pula realitas yang lebih gelap:
Penyimpangan penggunaan dana desa. Di beberapa tempat, praktik korupsi, mark-up anggaran, hingga proyek fiktif masih menghantui. Dalam konteks seperti itu, sikap defensif dan risih bukan sekadar ketakutan disalahpahami, melainkan upaya untuk menutupi penyalahgunaan. Wajar bila masyarakat curiga ketika pertanyaan sederhana justru dijawab dengan nada marah atau menghindar.

Intimidasi terhadap Warga Yang Kritis :

Lebih memprihatinkan lagi, terdapat kasus ketika masyarakat yang bertanya justru menghadapi intimidasi. Mereka dianggap mengganggu, melawan kebijakan desa, bahkan dituduh menyebarkan fitnah. Padahal, bertanya soal anggaran bukanlah tindak kriminal. Itu adalah bentuk partisipasi dan kontrol sosial yang dijamin undang-undang.

Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 secara jelas menyebutkan bahwa masyarakat berhak mendapatkan informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan desa, termasuk soal keuangan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 juga menegaskan kewajiban pemerintah desa untuk mengumumkan APBDes secara terbuka melalui papan informasi atau media publik lainnya. Artinya, masyarakat yang menuntut penjelasan hanya sedang menjalankan haknya sebagai warga negara.

“Jalan Keluar: Kontrol Sosial dan Mekanisme Pengaduan :

Jika intimidasi masih terjadi, masyarakat tidak boleh berhenti. Ada mekanisme formal yang bisa ditempuh.

Pertama, melapor ke BPD (Badan Permusyawaratan Desa), yang berfungsi sebagai lembaga pengawas.

Kedua, menyampaikan keluhan ke inspektorat kabupaten/kota yang memiliki kewenangan melakukan audit dan evaluasi.
Ketiga, jika pelanggaran berlanjut, laporan bisa ditingkatkan ke aparat penegak hukum.

Langkah ini penting agar dana desa tidak menjadi ladang gelap yang rawan disalahgunakan. Masyarakat perlu menyadari bahwa kontrol sosial adalah bagian dari tanggung jawab bersama. Demokrasi desa hanya bisa hidup jika warga berani bersuara dan perangkat desa berani terbuka.

Dana desa hadir sebagai harapan untuk membangun desa dari pinggiran, memperkuat ekonomi lokal, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, harapan itu bisa pudar jika transparansi tidak ditegakkan.

Pertanyaannya ? masyarakat bukanlah ancaman, melainkan bentuk kepedulian. Ketika jawaban justru berbelit, risih, bahkan disertai intimidasi, maka sesungguhnya yang dipertaruhkan bukan sekadar uang negara, tetapi juga masa depan demokrasi di tingkat desa.
Sudah saatnya desa berbenah. Transparansi bukan pilihan, melainkan kewajiban. Dan partisipasi masyarakat bukan gangguan, melainkan ruh yang membuat pembangunan desa benar-benar berpihak kepada rakyat. Karena tanpa keterbukaan, dana desa hanya akan menjadi angka-angka di atas kertas yang tak pernah menyentuh realitas warga.

“Hambatan Struktural dan Budaya Hirarkis :

Selain faktor keterbukaan, ada hambatan lain yang membuat jawaban soal dana desa kerap berbelit: Struktur pemerintahan desa yang hierarkis. Di banyak tempat, hanya kepala desa atau bendahara yang dianggap sah memberi keterangan. Perangkat lain lebih memilih diam karena takut dianggap melangkahi kewenangan atasan. Pola ini melahirkan kultur komunikasi yang kaku dan tertutup, sehingga informasi sulit diakses oleh masyarakat.

Kondisi ini bertolak belakang dengan idealitas musyawarah desa. Dalam musyawarah, seharusnya setiap warga bisa menyampaikan pendapat, bertanya, bahkan mengkritisi kebijakan anggaran. Namun, jika hirarki yang dominan membuat informasi terkunci di tangan segelintir orang, maka musyawarah hanya menjadi formalitas belaka.

Mengembalikan Semangat Transparansi
Masyarakat perlu memahami bahwa hak untuk tahu soal penggunaan dana desa adalah hak konstitusional. Setiap warga berhak menanyakan berapa anggaran yang diterima desa, untuk apa dialokasikan, bagaimana progres pembangunan, hingga hasilnya apa. Pertanyaan itu tidak boleh dibungkam. Justru, jawaban yang terbuka akan menumbuhkan rasa percaya dan partisipasi aktif.

Di sisi lain, perangkat desa pun seharusnya memandang pertanyaan masyarakat sebagai peluang untuk memperkuat legitimasi. Transparansi bukan ancaman, melainkan jembatan untuk membangun kepercayaan. Dengan menjelaskan anggaran secara sederhana dan terbuka, perangkat desa bisa memperlihatkan komitmen pada prinsip akuntabilitas.”Ketika hak itu dijawab dengan intimidasi, maka yang terjadi adalah pelanggaran serius. Bukan saja terhadap prinsip demokrasi desa, tetapi juga terhadap aturan hukum yang berlaku. Perangkat desa yang melakukan intimidasi sesungguhnya tengah mencederai semangat reformasi birokrasi yang menjadi landasan hadirnya dana desa.” ( ASHER ).

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA