Sebuah Catatan sebagai bahan rujukan Kepada Komisi II DPR-RI.
Oleh,Victor Ruwayari Pemerhati Demokrasi dan Politik Lintas Papua.
Refleksi paling penting dari putusan ini, Mahkamah Konstitusi tidak boleh dengan mudah menciptakan norma baru. Dalam negara demokrasi konstitusional, hukum dibentuk oleh lembaga legislatif yang memiliki legitimasi elektoral, bukan oleh lembaga yudikatif yang bersifat pasif. Ketika Mahkamah berperan sebagai pembentuk hukum tanpa melalui proses representatif, prinsip demokrasi dan nomokrasi sekaligus tercederai.
Dengan segala masalah, kontroversi, dan kerumitan yang niscaya akan muncul akibat final dan mengikatnya Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024, maka perlu dibuat desain rekayasa politik yang paling minimal derajat pelanggaran konstitusinya, sekaligus paling kokoh fundamental demokrasinya secara prosedural maupun substantif. Desain rekayasa politik yang dimaksud adalah menggelar “Pemilu Sela Serentak Lokal” untuk memilih Anggota DPRD (Provinsi dan Kabupaten/Kota) dan Kepala Daerah untuk masing-masing masa jabatan dua tahun saja pada tahun 2029. Lalu berikutnya menggelar “Pemilu Serentak Lokal” untuk memilih Anggota DPRD (Provinsi dan Kabupaten/Kota) dan Kepala Daerah untuk masing-masing masa jabatan lima tahun pada tahun 2031.
Mengapa Pemilu Sela Serentak Lokal 2029 hanya untuk masa jabatan dua tahun saja? Karena, Pemilu Sela Serentak Lokal lebih adil dalam memberi kesempatan sama kepada calon Anggota DPRD dan Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang potensial maju untuk saling berkompetisi. Calon potensial itu meliputi petahana ataupun non-petahana. Sekaligus desain semacam ini menutup peluang adanya kemungkinan gugatan judicial review terhadap UU dan/atau Peraturan KPU, jika desain rekayasa politiknya berupa perpanjangan masa jabatan DPRD maupun Kepala Daerah. Lebih dari itu, masa jabatan dua tahun dalam desain gelaran
Pemilu Sela Serentak Lokal akan membuat para kontestan calon anggota DPRD maupun pasangan calon Kepala Daerah yang berkompetisi merasa lebih nyaman. Sebab, jika terpilih dan menjalani jabatan selama dua tahun, tidak masuk hitungan satu periode masa jabatan. Karena menjabat di bawah dua setengah tahun. Berbeda jika masa jabatan dua setengah tahun atau lebih, maka akan dihitung sebagai satu periode masa jabatan. Bahwa desain ini masih terkategori melanggar konstitusi, ya. Karena konstitusi tegas menyuratkan masa jabatan anggota DPRD ataupun Kepala Daerah terpilih adalah lima tahun. Tapi jauh lebih mendekati prinsip demokrasi kepemiluan. Setidaknya elemen kompetisi, partisipasi, dan adil terpenuhi. Selanjutnya, tiga sampai lima bulan menjelang berakhirnya dua tahun masa jabatan hasil Pemilu Sela Serentak Lokal 2029, yaitu tepatnya pada tahun 2031, baru bisa diadakan Pemilu Serentak Lokal untuk pemilihan Anggota DPRD dan Kepala daerah yang masa jabatannya lima tahun. Sesuai dengan amanat konstitusi. Desain rekayasa politik semacam ini mungkin menjadi satu-satunya jembatan yang paling masuk akal untuk mengatasi Putusan MK yang rumit dan kontroversial, tapi bersifat final dan mengikat.Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU – XXII/2024 tentang pemisahan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak Nasional dan Pemilu Serentak Lokal, tak semata menjadi pengarah hukum, tapi sekaligus pengarah politik. Berhal demikian, maka pasti akan memantik kontroversi. Selalu ada plus-minus. Karena cara menginterpretasi putusan MK itu tak semata bertolok ukur demokrasi substantif atau prosedural semata, tapi juga berdimensi power politics. Tarik menarik kepentingan sesaat di antara kekuatan politik untuk mengoptimalisasi kemanfaatan dari Putusan MK itu adalah sebuah keniscayaan.
Mengandaikan Putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Maka, harus segera ada tindak lanjut untuk menerjemahkannya ke dalam segenap tata aturan yang diperlukan. Ada potensi kebaikan politik yang bisa diharapkan. Tapi ada pula potensi masalah yang bakal timbul. Selalu begitu.
Adagium normatif menegaskan, bahwa demokrasi selalu mengandaikan adanya penegakan supremasi hukum. Untuk itu dipersyaratkan hadirnya aturan hukum yang jelas dan tegas serta adil. Termasuk kejelasan, ketegasan, dan keadilan segala tata aturan perihal tindak lanjut Putusan MK terkait pemisahan Pemilu Serentak Nasional dengan Pemilu Serentak Lokal.
Implikasi Pilkada sebagai rejim pemilu, maka semua tata aturan main terkait Pilkada tak lagi dalam pengaturan Pemerintahan. Tak lagi melibatkan peran Presiden, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dan Gubernur. Tata aturan mainnya bergeser dan terintegrasi di bawah payung kelembagaan Kepemiluan. Secara normatif, menempatkan pilkada ke dalam rejim pemilu amatlah tepat. Karena esensi pilkada adalah kontestasi dan partisipasi dalam bingkai pemilihan. Itu sebabnya ada usulan perubahan dan kodifikasi Undang-Undang (UU) Pemilu dan UU Pilkada. Otomatis UU Pemda pun harus diubah dengan meniadakan peran pemerintah untuk menentukan dan menetapkan Penjabat (Pj) Kepala Daerah. Penetapan tersebut akan otomatis menjadi urusan penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau KPU Daerah (KPUD) yang prosesnya diawasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Memang tata aturannya belum ada. Maka perlu kelengkapan tata aturan untuk ini.
Implikasi perubahan jadwal Pemilu Serentak Nasional dengan Pemilu Serentak Lokal. Untuk jadwal Pemilu Serentak Nasional nyaris tak ada masalah. Pula, tak ada komplikasi secara normatif maupun power politics. Pemilu Serentak Nasional itu meliputi Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Masalah dan kontroversi itu baru muncul dan niscaya tak terhindar ketika menyangkut keputusan MK yang menjadwalkan pelaksanaan Pemilu Serentak Lokal. Jadwalnya ditetapkan dua hingga dua setengah tahun setelah pelantikan hasil Pemilu DPR–Pemilu DPD. Maka, muncullah isu perpanjangan masa jabatan DPRD dan Kepala Daerah lewat UU. Dasar penalaran yang dikemukakan adalah karena dulu pernah ada best-practices perpanjangan atau percepatan Pemilu Serentak Lokal. Sekalipun dalam best-practices dulu spektrum masa perpanjangan/percepatan Pemilu Serentak Lokal itu terbatas di beberapa Wilayah dan Daerah, dan sebagian besar dalam kisaran enam bulan saja. Bukan dalam durasi panjang dua hingga dua setengah tahun. Durasi panjang ini nyaris setara durasi sebagian besar Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejatinya, secara legal formal, memperpanjang masa jabatan anggota DPRD dan masa jabatan Kepala Daerah adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hasil amandemen. Karena dalam UUD 1945 hasil amandemen jelas terkmaktub, bahwa masa jabatan anggota DPRD maupun Kepala Daerah adalah lima tahun. Pula, perpanjangan masa jabatan itu bertentangan prinsip demokrasi prosedural maupun substantif. Sebab, tak ada proses kontestasi dan partisipasi yang melibatkan publik/masyarakat pemilih dalam gagasan perpanjangan masa jabatan anggota DPRD/Kepala Daerah. Oleh sebab itu, muncullah gagasan Pemilu Sela Lokal untuk memilih anggota DPRD (Provinsi dan Kabupaten/Kota), untuk masa jabatan dua hingga dua setengah tahun. Disadari Pemilu Sela untuk memilih Anggota DPRD ini tetap melanggar UUD 1945 hasil amandemen yang menetapkan masa jabatan anggota DPRD terpilih adalah lima tahun. Namun, pelanggaran konstitusi itu derajatnya lebih kecil dibanding perpanjangan masa jabatan anggota DPRD. Sebab dalam Pemilu Sela Lokal untuk DPRD itu ada proses kontestasi dan partisipasi yang melibatkan publik atau masyarakat pemilih. Adapun untuk Kepala Daerah dibayangkan sebagaimana best-practices selama ini, yaitu ada pengangkatan Pj Kepala Daerah untuk masa jabatan dua hingga dua setengah tahun. Yang dilupakan dalam hal ini adalah rejim Pilkada bukan lagi merupakan Rejim Pemerintahan Daerah seperti dulu, tapi sudah berubah menjadi Rejim Pemilu. Sehingga tak ada lagi kewenangan Presiden/Mendagri/Gubernur menentukan Pj Kepala Daerah. Kewenangan untuk menetapkan Pj Kepala Daerah sudah otomatis beralih kepada Penyelenggara Pemilu, yaitu KPU/KPUD. Persoalannya, tata aturan yang menjadi petunjuk pelaksaan untuk tindak lanjutnya, belum ada. Terbayang betapa makin rumitnya implikasi akibat penetapan perubahan jadwal Pemilu Serentak Lokal.
Catatan tambahan yang tak kalah penting dalam Putusan MK adalah tersirat pengandaian yang sifatnya niscaya, bahwa Pilkada dilakukan secara langsung. Bukan dipilih oleh DPRD. Ini penting. Karena masih ada pihak-pihak yang berupaya mendesakkan kepentingan untuk mendesain kembali Pilkada tidak langsung. Pilkada yang dipilih sebatas oleh anggota DPRD. Argumen penguat mereka adalah interpretasi atas konstitusi dalam UUD 1945, yang menyuratkan bahwa pasangan Kepala Daerah “dipilih secara demokratis”. Bukan seperti Pilpres, yang pasal konstitusinya tegas berbunyi “dipilih secara langsung”. Memaknakan pasal konstitusi perihal “…dipilih secara demokratis” berarti boleh langsung atau tidak langsung, adalah cara membaca konstitusi yang semata berbasis “teks”. Tidak melihat kaitan “teks” dengan “konteks”. Jika teks pasal konstitusi perihal “Pilkada dipilih secara demokratis” itu diletakkan dalam “konteks” sejarah kelahirannya dulu, maka niscaya menjadi jelas dan tegas, bahwa yang dimaksud dengan “dipilih secara demokratis” itu adalah dalam semangat yang sama antara Pilpres dan Pilkada, yaitu “dipilih secara langsung”. Pemakaian terminologi “dipilih secara demokratis” adalah untuk penghalusan bagi wilayah/daerah yang dipimpin secara budaya oleh Raja/Sultan. Jadi, Putusan MK sudah tepat ketika mengandaikan keniscayaan Pilkada dipilih secara langsung. Tak boleh lagi ada keraguan dan sedu-sedan tentang hal ini.
Di atas segalanya, Putusan MK yang memisah Pemilu Serentak Nasional dengan Pemilu Serentak Lokal, pada dirinya adalah rekayasa politik besar untuk memperkuat kelembagaan Bentuk Negara Kesatuan dan Sistem Pemerintahan Presidensial. Hakikatnya, sumber kewenangan bermuara pada pemerintah pusat. Adapun pemerintah daerah, mereduksi kewenangan pemerintah pusat atas dasar asimetri (keanekaragaman masing-masing daerah). Dengan penyelenggaraan terlebih dahulu Pemilu Serentak Nasional, lalu kemudian setelah dua tahun diikuti dengan penyelenggaraan Pemilu Serentak Lokal, maka potensi penguatan Bentuk Negara Kesatuan dan penguatan Sistem Pemerintahan Presidensial lebih bisa dibayangkan.
Tinggal sekarang tindak lanjut segenap tata aturan yang diperlukan untuk disegerakan. Kecuali ada dinamik baru dalam power politics, yang justru mengharu biru dan membuat sedu-sedan keIndonesiaan.*)
Tidak ada komentar