Demokrasi Yang Ternoda: Ketika Aparatur Negara Bermain Petak Umpet Dalam Pelaksanaan PSU Papua.

waktu baca 3 menit
Sabtu, 9 Agu 2025 18:09 14 kabiro kabupaten sarmi
Oleh. Victor Ruwayari 
Pemerhati Demokrasi Lintas Papua.

 

Memaknai Pemilu yang berkualitas dan berintegritas pada dasarnya telah terangkum dalam pengertian pemilu demokratis yang mensyaratkan minimal dua hal yakni Pemilu yang bebas dan adil atau free and fair election. Namun perkembangan demokrasi yang sangat dinamis, membuat banyak pihak tidak puas dengan kedua kriteria demokrasi tersebut.

Sejak penyelenggaraan pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955, upaya menghadirkan pemilu berkualitas dan berintegritas telah dimulai. Secara normatif prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu yang berlandaskan pada kejujuran, kerahasian, ketenangan dan langsung telah dijamin oleh Undang-Undang. Hal ini menujukkan bahwa Negara sejak awal telah memiliki keinginan yang kuat untuk memfasilitasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi yang dapat menggunakan hak politiknya dalam suasana yang kondusif.

Indonesia sebagai salah satu Negara demokrasi terbesar di dunia telah menetapkan enam ukuran pemilu yang demokratis yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Hal itu termuat dalam pasal 22E ayat 1 Undang Undang Dasar 1945. Undang-Undang Pemilu dan Penyelenggaraan Pemilu yang menjadi turunannya kemudian menambah beberapa keriteria lagi seperti transparan, akuntabel, tertib dan profesional, nilai-nilai Demokrasi menjadi kunci penting dimana kedaulatan Rakyat diatas segalanya dan rakyatlah menentukan pemimpin sesuai dengan pilihannya, bukan terintervensi dan terintimidasi.

Dalam mengimplementasikan enam asas penyelenggaraan pemilu tersebut, Indonesia pasca reformasi telah melakukan sejumlah perbaikan, mulai dari perbaikan sistem pemilu (electoral system), tata kelola pemilu (electoral process) dan penegakan hukum pemilu (electoral law). Namun diharapkan pada Pemilu tahun 2019 harus lebih baik lagi, sehingga tercipatanya suatu Pemilu yang berkualitas dan berintegritas.

Fakta ini memperlihatkan bahwa pemilu telah tereduksi menjadi momen transaksional, bukan partisipasi. Dalam PSU, suasana ini justru lebih pekat, karena masih banyak intervensi Intimidasi yang dilakukan oleh aparatur negara dalam pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang di Pilkada Provinsi Papua.

PSU seharusnya menjadi mekanisme korektif. Sayangnya, tanpa diskualifikasi Paslon yang terbukti melanggar, PSU malah jadi jalan tengah yang menyesatkan. Publik bisa saja menangkap pesan bahwa “kecurangan yang rapi” akan tetap dapat diakomodasi oleh sistem.

Jika kecurangan hanya dibalas dengan PSU yang peluangnya tetap menguntungkan kecurangan, maka sistem memberikan pelajaran bahwa curang itu tak mengapa, asal cermat dan tak terlalu vulgar.

Padahal, demokrasi bukan hanya soal prosedur, tapi juga moral. Ketika PSU justru meneguhkan dominasi modal, menguatkan praktik transaksional, dan mempertahankan elite kepentingan dengan polarisasi, maka yang kita bangun bukanlah demokrasi, melainkan demokrasi semu.

Dalam memaknai nilai-nilai Demokrasi yang sesungguhnya adalah kedaulatan rakyat diatas segalanya karena demokrasi adalah “Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat” bukan ” Dari Pusat, Oleh Pusat dan Untuk Pusat”.

Menjelang dan pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang PSU Pilkada Provinsi Papua telah terjadi sentralisasi komando yang tersistim dan terstruktur membuat proses Demokratisasi menuju demokrasi secara substansial ternoda.

Fenomena ini muncul ketika Para Aparatur Negara memainkan peran penting sebagai sutradara film dalam film Si Unyil bermain “Petak Umpet”, seharusnya sebagai aparatur negara memberikan dukungan netralitas dan mendorong agar partisipasi masyarakat sebagai indikator terpenting dalam kontestasi demokrasi yang secara jurdil, bukan mempertontonkan kegelisahannya dalam proses demokrasi.

Cerminan pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua harus menjadi produk intelektualitas para aparatur negara yang memiliki nilai-nilai Demokrasi yang sesungguhnya, bukan menjadi panggung ajang pamer kepentingan elit politik bangsa yang tersentralisasi.

Nah, yang akan menjadi pertanyaan bagi kita semua sebagai masyarakat pemilih (indikator terpenting dalam berdemokrasi) “apakah kita (masyarakat) hanyalah sebuah pigura retak yang terpajang didinding ataukah Justru masing-masing mencari jalan terbaik seperti Ku Cari jalan terbaik kata Pance Pondang dalam lirik lagunya”?.

Netralitasi dalam pelaksanaan PSU seharusnya ditempatkan sebagai instrumen korektif yang bermakna, bukan sekadar repetisi. Netralitasi seharusnya menjadi opsi utama dalam kasus pelanggaran serius. Jika tidak, kita hanya mengulang pemilu, tapi tak pernah memperbaiki demokrasi.*)

kabiro kabupaten sarmi

Mantan Komisioner KPU Kabupaten Sarmi Periode 2014-2024.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA