Bertopeng Kepentingan Rakyat, Politikus Bersandiwara Dalam Kontestasi Demokrasi Jelang PSU Papua.

waktu baca 4 menit
Kamis, 24 Jul 2025 17:52 24 kabiro kabupaten sarmi

[Refleksi]

Oleh Victor Ruwayari.
Pemerhati Demokrasi Lintas Papua.

 

Setiap kali menjelang pemilihan umum, baik Pilpres maupun Pilkada tiba, seperti saat ini. Politikus dengan cepat bermunculan seperti jamur di musim hujan. Mereka datang dan bergabung, berkolaborasi bersama, berakting sesuai arahan sutradara dari atas mencari sensasi dan mengisap madu pada kubu Paslon tertentu sebagai mesin politiknya dalam berbagai cerita dengan janji-janji manis, menyatakan bahwa mereka akan selalu mewakili kepentingan rakyat. Namun sayangnya, hal ini sering kali hanyalah sebuah sandiwara belaka.

Politikus seolah-olah memiliki kemampuan luar biasa untuk memainkan peran dengan baik di mata publik. Mereka menjadi ahli dalam berbicara dan menyampaikan janji-janji palsu yang seolah-olah akan mewujudkan impian rakyat. Namun, di balik senyum mereka yang manis dan ungkapan mereka yang berapi-api untuk kepentingan rakyat, sebenarnya tersembunyi motif yang lebih besar.

Para politikus sering kali berperan sebagai pencari kekuasaan dan pengaruh, bukan sebagai pelayan masyarakat sebagaimana seharusnya. Mereka menggunakan kepentingan rakyat sebagai alat untuk mencapai ambisi pribadi mereka sendiri. Mereka berpikir bahwa jika mereka dapat memberikan janji-janji pemenuhan kebutuhan rakyat, maka mereka akan mendapatkan dukungan dan suara yang mereka butuhkan untuk mencapai jabatan yang diinginkan.

Ironisnya, di balik sandiwara mereka yang tampak begitu mengagumkan, politikus seringkali lupa bahwa mereka diangkat oleh rakyat untuk mewakili suara mereka, bukan ego mereka sendiri. Mereka lupa bahwa seharusnya tanggung jawab mereka adalah memperjuangkan kepentingan rakyat dan membangun masyarakat yang lebih baik, bukan memperkaya diri sendiri atau memenuhi kepentingan kelompok tertentu.

Kita sering melihat politikus yang dengan cepat berubah sikap setelah mereka mendapatkan kekuasaan atau setelah pemilihan berakhir. Janji-janji mereka yang manis dan komitmen awal kepada rakyat seringkali tergantikan dengan keputusan yang lebih menguntungkan diri mereka sendiri ataupun kelompok politiknya. Mereka berbicara tentang keadilan dan kesetaraan, tetapi tindakan mereka justru menghasilkan ketidakadilan dan perpecahan.

Sikap politikus yang tampak seperti sandiwara ini tidak hanya merusak nama baik mereka sendiri, tetapi juga merugikan masyarakat pada umumnya. Masyarakat kehilangan kepercayaan pada politikus dan dunia politik. Mereka merasa bahwa suaranya tidak didengar dan kepentingan mereka tidak diwakili dengan baik oleh para pemimpin mereka.

Meskipun begitu, perlu kita akui juga bukan berarti semua politikus sedang bersandiwara. Tetap ada politikus yang benar-benar berkomitmen untuk melayani rakyat dan mengubah kondisi yang ada. Namun, tanggung jawab kita sebagai masyarakat adalah untuk lebih selektif dalam memberikan dukungan dan suara kita. Kita harus melihat melampaui kata-kata manis dan janji-janji yang terucap, dan memilih mereka yang telah membuktikan diri mereka sebagai pemimpin yang bertanggung jawab dan jujur.

Sandiwara politik yang dilakukan oleh politikus bertopeng kepentingan rakyat adalah sebuah fenomena yang merugikan bagi masyarakat. Hal ini menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap politik. Masyarakat perlu lebih kritis dalam menganalisis tindakan politikus. Karena pada akhirnya, adalah tindakan yang menentukan integritas dan kejujuran politikus, bukan sekadar kata-kata-manis yang mereka suarakan. Hanya dengan demikian, kita dapat memperoleh kepemimpinan yang benar-benar melayani kepentingan rakyat.

Menariknya sebuah sandiwara Politikus dalam film “Our Brand Is Crisis” agaknya jadi bahan refleksi bersama. Setelah Pilpres di Bolivia, narasi politik yang dibangun oleh Politikusnya lenyap, dan keputusan pemimpin terpilih tidak sesuai dengan janji kampanye. Akankah di pilkada 2025 ini akan mirip dengan sandiwara Castillo dalam film yang, setelah terpilih, meninggalkan janji referendum mengenai keputusan mengajak IMF? Gambaran bahwa Pilpres, kendati memiliki potensi untuk mengubah, terkadang justru tidak memenuhi harapan. Apakah demikian? Tentu kita berharap kontestasi Demokrasi pada PSU Pilkada Papua 2025 tidak demikian.

Sebagai penutup, kita perlu merenungkan peringatan Jane Bodine dalam film tersebut, “Jika Pemilu bisa mengubah segalanya, mereka pasti tidak akan mengizinkannya.”  Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat pemilih memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya mengandalkan narasi politik yang diciptakan oleh politikus, tetapi juga melihat dan menganalisis tindakan konkret yang diambil oleh calon pemimpin.

Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa narasi politik politikus tidak sekadar menjadi alat manipulasi, tetapi juga mampu menciptakan perubahan yang positif bagi bangsa dan daerah. Apakah masyarakat dapat membuka mata terhadap manipulasi ini, ataukah kita akan terus menjadi penonton setia dari sebuah pertunjukan sandiwara atau drama Politikus yang penuh intrik? *).

“Biarkan Kami memilih sesuai dengan hati kami, harga diri kami…”

kabiro kabupaten sarmi

Mantan Komisioner KPU Kabupaten Sarmi Periode 2014-2024.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA