Air Bersih Hilang di Tanimbar, Direktur PDAM dan Bupati Disorot

waktu baca 4 menit
Senin, 18 Agu 2025 09:07 9 Wakaperwil Maluku

Saumlaki, kpktipikor.id – Delapan puluh tahun Indonesia merdeka, bangsa ini kembali merayakan kemerdekaan dengan tema nasional “Berdaulat, Indonesia Maju, Rakyat Sejahtera.” Namun, bagi masyarakat Kabupaten Kepulauan Tanimbar, kata-kata itu terdengar seperti sindiran pahit. Saat rakyat di Jakarta bersuka cita dengan parade dan pesta rakyat, di Saumlaki dan sekitarnya masyarakat justru antre air bersih hingga tengah malam.

Kemerdekaan terasa hampa, sebab hak dasar rakyat air bersih justru hilang di tangan manajemen PDAM yang amburadul. Ironi ini semakin kelam ketika publik menyoroti penunjukan Direktur PDAM yang dinilai sarat kepentingan politik, bukan profesionalisme.

Air Bersih Jadi Barang Mewah di Tanah Sendiri

Kepada Kapatanews.id Jems Masela salah satu tokoh masyarakat yang kritis selalu menyuarakan kepentingan masyarakat menjelaskan, Di Kepulauan Tanimbar suplai air PDAM yang seharusnya mengalir tiga kali seminggu kini dipangkas hanya sekali dalam seminggu, itupun cuma 1–2 jam. Air yang keluar sering keruh. Warga yang tak kebagian terpaksa membeli air dengan harga tinggi. Situasi ini sudah berjalan berbulan-bulan tanpa ada tanda-tanda perbaikan sampai detik ini.

“Parahnya lagi, utang pelanggan PDAM mencapai Rp 3 miliar. Infrastruktur bocor di banyak titik, pompa air kekurangan daya, tangki penampungan terbengkalai. Laporan internal menyebutkan PDAM bahkan pernah merugi hingga Rp 5 miliar. Meski pemerintah daerah terus menggelontorkan anggaran tiap tahun, pelayanan justru makin memburuk,”ungkapnya.

Penelitian akademis bahkan memprediksi kebutuhan air masyarakat Tanimbar mencapai 14,33 m³ per hari dalam dekade mendatang. Namun kapasitas produksi dan distribusi PDAM jauh dari target itu. Jika tak segera dibenahi, krisis ini akan berubah menjadi bencana kemanusiaan.

Jems Masela: Kemerdekaan Ini Hampa!

Masela menilai krisis air ini adalah bukti nyata kegagalan pemerintah daerah dalam menjamin hak dasar rakyat.

“Bagaimana kita bisa bicara soal kedaulatan dan kesejahteraan kalau rakyat Tanimbar harus beli air setiap hari? PDAM seharusnya jadi penyelamat, bukan sumber penderitaan. Penunjukan direktur yang tidak profesional itu penghinaan terhadap rakyat,” tegas Masela.

Ia menambahkan, rakyat Tanimbar sudah terlalu lama jadi korban janji-janji palsu. Dari tahun ke tahun, PDAM selalu beralasan soal kekeringan, listrik padam, hingga jaringan rusak. Namun faktanya, masyarakat tetap harus antre air dengan jerigen, bahkan ada yang mandi dan mencuci hanya sekali dalam beberapa hari.

“Setiap 17 Agustus kita pasang bendera, kita hormat merah putih, tapi air untuk hidup tidak ada. Apa gunanya kemerdekaan kalau rakyat masih haus di tanah sendiri?” tambahnya dengan nada geram.

“Rumah kontrakan yang saya tempati, sejak awal hingga satu bulan berjalan pada tanggal 24 nanti, air PDAM tidak pernah mengalir. Namun, anehnya saya tetap diwajibkan membayar tagihan sebesar Rp500 ribu hingga Rp600 ribu per bulan, meski pelayanan sama sekali tidak ada,”kesalnya.

Bupati Disorot, Direktur PDAM Dipertanyakan

Sorotan publik kini tajam mengarah kepada Bupati Kepulauan Tanimbar. Kritik muncul karena penunjukan Direktur PDAM dianggap hanya berdasarkan kedekatan politik, bukan kompetensi teknis. Akibatnya, PDAM dikelola secara serampangan, penuh kepentingan, dan jauh dari semangat pelayanan publik.

Masela menegaskan bahwa jabatan direktur bukan hadiah politik, melainkan posisi strategis yang menentukan hidup-matinya pelayanan air bersih di Tanimbar.

“Bupati jangan sibuk urus proyek lain dan pencitraan, sementara rakyat tidak bisa mandi, masak, bahkan anak-anak ke sekolah dengan baju kotor karena air tidak ada. Kalau direktur PDAM dipilih asal-asalan, maka penderitaan rakyat tidak akan pernah selesai,” tandasnya.

Kemerdekaan yang Hanya Seremonial

Tema “Berdaulat, Indonesia Maju, Rakyat Sejahtera” hanyalah slogan kosong di Tanimbar. Ketika rakyat masih kesulitan mendapatkan air, kemerdekaan menjadi seremoni tanpa makna.

Di tengah upacara dan pesta kemerdekaan, rakyat justru merasakan kedaulatan yang terampas. Ironi semakin terasa ketika air sumber kehidupan justru dikelola dengan buruk, dijadikan alat politik, dan diperlakukan sebagai barang dagangan.

“Kemerdekaan itu bukan sekadar bebas dari penjajah. Kemerdekaan adalah ketika rakyat bebas dari penderitaan. Kalau air bersih saja tidak ada, maka kita masih terjajah oleh kebijakan yang salah, oleh manajemen bobrok, dan oleh pemimpin yang abai,” ujar Masela.

Desakan Rakyat: Evaluasi Total PDAM!

Gelombang kekecewaan masyarakat makin kuat. Rakyat mendesak Bupati segera mengevaluasi kinerja PDAM, mengaudit keuangannya, dan mengganti direktur yang tidak profesional. Transparansi anggaran, perbaikan distribusi, serta penempatan pejabat berdasarkan kompetensi adalah solusi yang ditunggu.

Tanpa langkah tegas, kepercayaan publik pada pemerintah daerah akan runtuh. Krisis air Tanimbar bukan sekadar masalah teknis, melainkan krisis keadilan dan kemanusiaan.

Ironi kemerdekaan di Tanimbar telah membuka luka lama: rakyat tidak butuh janji kosong, rakyat butuh air bersih. Jika pemerintah terus menutup mata, maka perayaan kemerdekaan hanya akan jadi panggung sandiwara yang menutupi penderitaan rakyat.

Hari ini rakyat haus bukan karena kemarau, tetapi karena pemerintah daerah gagal menjalankan tugasnya. Dan sejarah akan mencatat, bahwa di tanah Tanimbar, kemerdekaan pernah terasa hampa hanya karena setetes air.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA