Padang,kpktipikor.id -Alih-alih menjadi forum produktif yang membangun desa, kegiatan bertajuk “Rapat Koordinasi dan Pemantapan Kapasitas Pengurus/Pengawas KDMP” yang diselenggarakan KOPINDO Wilayah Sumatera Barat justru memantik kritik keras dari LSM P2NAPAS. Pasalnya, acara tiga hari tersebut (15–17 Juli 2025) digelar di Hotel Axana Padang—hotel berbintang di pusat kota, dengan biaya yang diyakini bersumber dari kas nagari.
> “Apakah peningkatan kapasitas pengurus nagari harus dilakukan di ballroom hotel mewah? Di mana urgensinya? Di mana efisiensinya?” tegas Ahmad Husein Batu Bara, Presidium Pusat LSM P2NAPAS.
Menurut informasi yang dikumpulkan, setiap nagari peserta—sebanyak 62 nagari—diminta berkontribusi sekitar Rp3,9 juta, dengan total iuran mencapai ratusan juta rupiah. Dana tersebut diyakini bersumber dari APB Nagari, bukan sumbangan swadaya atau hibah non-pemerintah.
—
Kritik Bukan untuk Menghakimi, Tapi Mengingatkan
P2NAPAS tidak sekadar menggugat lokasi kegiatan, tapi juga menggugat cara berpikir dan tata kelola anggaran yang dinilai jauh dari semangat efisiensi publik.
> “Ini bukan soal boleh atau tidak, tapi soal patut atau tidak. Dana publik harus digunakan dengan akal sehat, bukan semangat seremonial,” lanjut Ahmad Husein.
P2NAPAS mempertanyakan alasan tidak digunakannya fasilitas pemerintah yang lebih murah, seperti aula milik kabupaten/kota atau gedung BUMNag, yang justru bisa memberdayakan ekonomi lokal.
—
Delapan Pertanyaan untuk KOPINDO
Dalam surat terbuka kepada Ketua KOPINDO Sumbar, P2NAPAS menyampaikan delapan pertanyaan mendasar, antara lain:
Apa dasar hukum penarikan iuran dari nagari?
Apakah kegiatan ini bagian dari program nasional KDMP?
Siapa yang menyusun anggaran, dan siapa yang menyetujuinya?
Apa manfaat konkret kegiatan ini bagi masyarakat desa?
Mengapa tempat mewah dipilih, bukan fasilitas publik lokal?
Berapa total biaya kegiatan dan rinciannya?
Adakah audit independen atas penggunaan anggaran ini?
Di mana laporan pertanggungjawaban kegiatan dapat diakses publik?
—
Simbol Ketimpangan, Bukan Kemajuan
Fenomena penggunaan hotel mewah untuk agenda pemerintahan bukan hal baru. Namun ketika biaya dibebankan ke dana nagari, masalahnya menjadi prinsip: siapa sebenarnya yang dilayani oleh kegiatan ini—masyarakat atau elite pengurus koperasi?
> “Jangan biasakan membuat panggung mewah dari uang rakyat miskin. Yang dibutuhkan desa adalah hasil, bukan gaya,” ujar Ahmad Husein.
—
Transparansi atau Preseden Buruk
P2NAPAS menegaskan bahwa niat baik tidak cukup. Tanpa transparansi, semua kegiatan berisiko menjadi preseden buruk yang menggerus kepercayaan publik.
Organisasi itu menuntut agar seluruh dokumen pertanggungjawaban dibuka ke publik, mulai dari rincian anggaran, daftar pembicara, kontrak penginapan, hingga laporan output kegiatan.
> “Kalau tidak ada yang bertanya, pemborosan jadi kebiasaan. Kami bertanya agar akal sehat tetap punya ruang di republik ini.”
—
Ultimatum 3 Hari untuk Klarifikasi
P2NAPAS memberi waktu tujuh hari kerja bagi KOPINDO Sumbar untuk menjawab pertanyaan secara tertulis. Mereka menegaskan bahwa ini bukan bentuk persekusi publik, tetapi kewajiban moral dan legal setiap entitas penerima atau pengguna dana publik.
> “Jika pembangunan desa dimulai dari meja prasmanan hotel, yang kitav bangun bukan kemajuan, tapi kesenjangan,” tutup Ahmad Husein.
Anjasri
Tidak ada komentar