Maluku, Kpktipikor.id – Gejolak tambang Gunung Botak kembali memuncak. Ratusan massa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Namlea dan Masyarakat Adat Kabupaten Buru turun ke jalan dalam Aksi Unjuk Rasa Jilid II, Senin (30/6/2025), menolak penertiban tambang oleh pemerintah provinsi serta menuding keberadaan 10 koperasi tambang sebagai ilegal dan cacat prosedur.
Aksi ini merupakan bentuk penolakan terhadap Surat Edaran Gubernur Maluku Nomor: 500.10.2.3/1052, tertanggal 19 Juni 2025, yang memerintahkan pengosongan tambang Gunung Botak. Massa menyatakan surat tersebut tidak memiliki dasar partisipatif dan melanggar hak-hak masyarakat adat serta pemilik lahan.
“Legalisasi tambang harus dimulai dari pengakuan wilayah adat, bukan pemberian IPR sepihak kepada koperasi yang tidak berpijak pada prinsip keadilan sosial,” tegas Ikbal A. Koroy, koordinator lapangan aksi.
Tuntut Transparansi dan Keadilan Agraria
Sekitar 200 peserta aksi yang terdiri dari kader HMI, masyarakat adat, dan penambang lokal, melakukan long march dari Kampus Universitas Iqra Buru melewati Pasar Inpres Namlea, Tatanggo, Simpang Lima, Kantor Bupati Buru, dan berakhir di Kantor DPRD Kabupaten Buru.
Dalam orasinya, massa menyuarakan beberapa tuntutan utama:
Membatalkan Surat Edaran Gubernur Maluku
Mencabut izin operasional 10 koperasi tambang
Menghentikan proses pengosongan lahan hingga Desember 2025
Mendesak audit menyeluruh terhadap aliran dana koperasi
Mengakui dan menetapkan wilayah adat Gunung Botak
Aksi yang berlangsung sejak pukul 11.30 hingga 15.30 WIT ini dijaga ketat oleh personel Polres Buru di bawah komando IPDA La Fianto Dia dan IPDA Saharil Suradji.
DPRD Buru Diminta Bentuk Pansus Tambang Gunung Botak
Setiba di Kantor DPRD Kabupaten Buru, massa disambut oleh Wakil Ketua II Zaidun Sanun, anggota DPRD Yohanes Nurlatu, dan Rustam Fadly Tukuboya. Dalam audiensi terbuka, DPRD menegaskan tidak akan mendukung praktik tambang ilegal serta menyatakan kesiapan mengawal hak-hak masyarakat adat.
“Kalau koperasi belum kantongi izin dari pemilik lahan, mereka tak boleh beroperasi di Gunung Botak,” ujar Zaidun Sanun, menanggapi tuntutan massa.
Massa juga mendesak DPRD segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna menyelidiki legalitas koperasi serta memfasilitasi dialog terbuka antara pemerintah, masyarakat adat, dan koperasi tambang.
Isu Gratifikasi dan Dugaan Konflik Kepentingan Mengemuka
Dalam pernyataan sikap, massa juga menyinggung potensi gratifikasi dan konflik kepentingan di balik terbitnya Surat Edaran Gubernur. Mereka menilai proses pemberian Izin Pertambangan Rakyat (IPR) kepada koperasi lebih berpihak pada kepentingan elit dan investor luar, bukan pada kesejahteraan masyarakat lokal.
Penambang lokal juga menolak pengosongan tambang hingga Desember 2025 karena dinilai tidak manusiawi dan mengganggu stabilitas ekonomi rakyat menjelang perayaan Natal.
Ancaman Aksi Jilid III Jika Tuntutan Diabaikan
Aksi ditutup dengan damai, namun peringatan keras dilontarkan. Jika tuntutan masyarakat adat dan HMI tidak ditindaklanjuti, massa mengancam akan melakukan aksi lanjutan dengan jumlah yang lebih besar.
“Kami tidak akan berhenti sampai tanah adat ini dihormati, dan eksploitasi rakus yang mengorbankan masyarakat diberhentikan,” seru orator aksi Nasrun Buton.
Gunung Botak Bukan Ladang Bisnis Segelintir Elit, Tapi Warisan Leluhur yang Harus Dijaga
Aksi ini mencerminkan pertarungan panjang antara hak masyarakat adat dan kepentingan ekonomi elit yang seringkali dibungkus dalam legalitas formal tanpa keadilan substantif. Masyarakat Buru menegaskan: tanah, emas, dan warisan leluhur bukan komoditas untuk dikorbankan demi investasi tanpa hati nurani.
Tidak ada komentar